Lihat ke Halaman Asli

Matematika, Anugerah yang Kita Terlantarkan

Diperbarui: 9 April 2019   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

seruji.co.id

Saat saya masih sd, metamatika adalah salah satu pelajaran yang saya sukai bahkan pelajaran yang saya faforitkan. Itu penyebabnya ada 2 hal sih. Yang pertama, gurunya lucu dan menyenangkan saat mengajar. 

Yang kedua, matematika itu pelajaran yang nggak banyak menghafal. Dan metematika itu dianggap sebagai alat ukur anak apakah dia pinter atau tidak. Jadi, kalau matematika nilai nya dapat sembilan atau sepuluh maka tidak langsung anak itu dicap pintar, walaupun nilai nya yang lain nggak sebegitu bagus.

Saya teringat sama guru matematika saya namanya Bu Nanik, beliau memiliki cara unik untuk merangsang anak supaya suka dengan matematika dengan cara setiap kali jam pelajaran mau usai beliau sering menuliskan soal di papan tulis. 

Lalu beliau berkata "Siapa yang bisa mengerjakan soal ini dengan betul maka dia boleh pulang duluan!". Dengan sepontan semua saling berlomba dan bergegas mengerjakan soal itu dengan cepat sepuya bisa pulang duluan. Alhamdulillah, saya sering pulang duluan karena saya tidak mau kalah dalam perlombaan menghitung apa lagi dalam matematika.

Cara Bu Nanik yang kreatif mendekatkan anak didiknya dengan pelajaran Matematika itu sangat berpengaruh besar pada diri saya. Sehingga saat Ujian Nasional saya dapat nilai yang sangat memuas kan apalagi di bidang matematika, saya dapat nilai sempurna. Sampainya saya lulus SD, saya disuruh melanjutkan ke pesantren oleh orang tua saya. Dengan patuh nya saya mengikuti keinginan kedua orang tua saya.

Saat di pesantren, saya heran saat itu karena anak di hitung pintar dan cerdas bukan karena dilihat dari kehebatan nya di bidang matematika. Melainkan, dilihat dari seberapa hebat dia menghafal dan mengausai ilmu sharaf, ilmu i'lal, ilmu I'rab, kitab kuning, dan lain sebagainya. 

Bahkan ada guyonan dikalanghan pesantren saat itu, bahwa ilmu matematika, fisika, biologi, dan sejenisnya itu tidak begitu penting. Karena kelak dialam kubur tidak akan ditanyakan oleh malaikat munkar dan nakir tentang matematikan dan lainnya.

Berjalannya waktu saat dipesantren saya mulai mendengarkan apa yang dikatan oleh teman-teman saya, karena saya kurang tahu dan kurang mengerti tentang masalah setelah hidup didunia ini. Dari situ lah saya lama kelamaan mulai meninggal kan matematika, dan mulai banyak berlomba menghafalkan bait-bait yang ada di kitab dengan teman satu kamar saya. Sehingga kesukaan saya terhadap matematika mulai terlantarkan. Dan itu berlanjut hingga saya masuk madrasah aliah.

Di saat saya belajar di madrasah aliah, saya mulai banyak mempelajari tentang sejarah islam. Meskipun saya agak terlambat untuk menyadarinya tapi saya sadar kembali akan pentingnya matematika dikehidupan. 

Bahkan tentang sejarah islam banyak yang mengatakan ternyata matematika itu juga bisa dikatakan ilmu islam. Matematika tak bisa lepas dari ilmu ilmu syariat yang tertera dalam Al-Qur'an dan Hadis.

Dari zaman dahulu ilmu matematika itu sudah digunakan dan berdampak besar bagi agama islam. Contohnya saja, menghitung waris, ilmu falak untuk mengetahui kalender hijriah yang terkait dengan ibadah shalat dan puasa, pembagian zakat, bahkan salah satu faktor kemenangan Rasulullah SAW. dalam perang badar juga karena ketetapa Rasulullah SAW. dalam munggunakan ilmu matematika.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline