Lihat ke Halaman Asli

Ekologi Tradisional Masyarakat Adat Papua

Diperbarui: 30 Oktober 2018   01:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by vemale.com

Seringkali cemohan itu datang dari mulut mereka "Manusia Modern", Mencemohkan tradisi nenek moyang yang banyak mengandung sarat makna dalam menjaga keberlanjutan antara Manusia dan Alam-Nya. Cemohan itu berupa pandangan yang tidak rasional bagi mereka "Manusia Modern", sebab seringkali norma-norma dan nilai-nilai itu sebagai pranata sosial dikalangan "Manusia Tradisional" dominan disamarkan dalam kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut (Mansoben, 2003)1.

Dalam pandangan kosmis masyarakat tradisional etnik Papua menurut Mansoben (2003) tergolong dalam kelompok yang mengintegrasikan person atau pribadinya dan Alam sebagai entitas. Misalnya perwujudan masyarakat Amungme yang mengintegralkan personifikasi tubuhnya dengan Alam, dan orang Asmat yang menganggap pohon sebagai penjelmaan jati diri mereka serta beberapa kelompok etnik tertentu yang mempercayai bahwa mereka adalah keturunan dari burung atau berasal dari jenis hewan tertentu lainnya.

Pandangan ini membentuk sebuah keyakinan dalam pembentukan norma-norma dan nilai-nilai tertentu sebagai fungsi pengendali sosial bagi masyarakat tradisional  yang mendukungnya, sehingga membentuk sebuah diskursus sosio ekologis manusia dan Alam-Nya. Norma-norma dan nilai-nilai kelokalan tersebut menjadi sebuah pranata sosial dalam tatanan hidup mereka sekaligus menjadi supremasi hukum sosio cultural yang kuat dan diyakini oleh masyarakat tradisional.

Keyakinan pranata sosio cultural tersebut dikemas sebagai supremasi hukum Adat yang kuat dalam bentuk lisan dan diturunkan secara turun temurun atau dari generasi ke generasi, kendati tidak memiliki aturan secara tertulis. Namun, nampak jelas dalam prakteknya disertai dengan pemberlakuan sanksi-sanksi layaknya hukum konvensional. Norma-norma dan nilai-nilai ini memberikan penetapan terhadap apa yang baik dan apa yang tidak baik dalam pemanfaatan dan pengelolaan dari isi Alam, seperti yang dikaji oleh Mansoben (2003) bahwa penetapan masyarakat tradisional Papua dalam pemanfaatan dan pengelolaan isi Alam berupa larangan-larangan untuk membunuh jenis hewan-hewan tertentu , menebang sembarangan pohon-pohon di kawasan hutan tertentu, merusak atau mencemarkan lingkungan Alam tertentu atau melakukan perbuatan a-sosial ditempat-tempat tertentu.

Perwujudan tersebut menurut keyakinan masyarakat tradisional merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam yang diintegralkan dengan tubuh manusia. Jika tindakan-tidakan larangan diatas dilanggar, maka akan memberikan dampak negatif yang serius terhadap Alam dan secara tidak langsung dapat merusak tatanan struktur tubuh anggota masyarakat tradisional itu sendiri. Oleh sebab itu masyarakat percaya bahwa bencana alam yang terjadi adalah dampak negatif jika Alam tidak diberlakukan dengan baik dari kalangan mereka sendiri, Maka sanksi-sanksi akan diberikan kepada para pelanggar berupa hukuman fisik atau cemohan dan dikucilkan dari pergaulan masyarakatnya. Sebab, pemberian sanksi dianggap lebih efektif dalam memberikan efek jerah (Mansoben, 2003).

Pranata tersebut dibuat untuk mengatur pemanfaatan lingkungan Alam-Nya. Anggapan mereka (masyarakat tradisional), Alam merupakan sumber penghidupan yang mengandung nilai sosial, nilai ekonomi dan nilai ekologi. Inilah integrasi dari sebuah konsep perwujudan yang melebihi diskursus antara manusia dan Alam-Nya, yakni interaksi vertikal secara langsung antara manusia dan Tuhan-Nya melalui penghormatan terhadap Eksistensi Alam.

Diskursus Manusia dan Alam

Dua pemahaman yang selalu diasosiasikan dan saling kontradiktif, yakni pemahaman tentang anthroposentrisme (Manusia sebagai pusat segalanya) dan ekosentrisme (Alam sebagai pusat segalanya), keduanyaa sangat mempengaruhi eksistensi lingkungan Alam yang ditempati oleh Manusia dan ekosistem lainya yang menjadi satukesatuan komponen Alam secara entitasnya (Solanta, 2016).

Photo by Rumahku.com

Kontradiktif ini berasal dari pemahaman yang menitik beratkan bahwa manusia merupakan  pusat segalanya dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), atau yang dikenal dengan istilah anthroposentrisme. Mengapa demikian? Sebab, manusia memiliki akal dan pengetahuan, sehingga mampu berkembang secara revolusi dan kreatif dalam meramu sumber makanan untuk keberlangsungan hidupnya; seraya berkembangnya revolusi industri pada abad ke 19 yang berupaya mengeksploitasi hasil Alam secara besar-besaran (Mansoben, 2003).

Kendati perlahan, paham ini (anthroposentrisme) ditentang  oleh paham biosentrisme yang secara harfiah lebih menitik beratkan Alam sebagai pusat tertinggi dan memiliki keyakinan bahwa kehidupan manusia memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan seluruh kosmos. Artinya, manusia dianggap sebagai satu makhluk hidup yang memiliki hubungan rasa saling ketergantungan dengan makhluk hidup lainnya di Alam Semesta. Sedangkan ekosentrisme menitik beratkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam masing-masing diri makhluk hidup itu sendiri yang masih selaras dengan paham biosentris yang bersifat feminisme.

Paham anthroposentris, biosentris dan ekosentris memiliki persamaan yang kontradiktif layaknya perdebatan perspektif antropologi dekolonisasi dan perspektif antropologi indigeneus yang terkonsep dalam sebuah diskursus manusia dan Alam. Diskursus manusia dan Alam dapat dipahami melalui gagasan Julian Steward (1902-1972)2 melalui kajian ekologi budayanya (ecology cultural) sebagai konsep panduan untuk memahami diskursus tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline