Lihat ke Halaman Asli

M Fajarun Amin

Hanya Manusia

Tradisi Intelektual UIN Jakarta, Islam Moderat (Rasional) atau Islam Liberal?

Diperbarui: 3 Juni 2019   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

minanews.net

Bismillah al --Rahman al-Rahim.... 

Tiada kata yang pantas terucap dan terlantun, selain ungkapan rasa syukur tak terkira atas karunia-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Allah Swt). Salam Sejahtera untuk kita semua (saudara se-darah umat manusia), Makhluk Tuhan Yang Maha Esa di Bumi Manusia dimanapun berada. Semoga senantiasa kita berada dalam keadaan baik secara lahir batin. Aaamiin...

29 Ramadhan 1440 H (02 Juni 2019 M), tepat 2 hari tersisa menuju Hari Raya Iedul Fitri, hari Rayanya Umat Islam di seantero. Sesungguhnya, Iedul Fitri bukanlah simbolis tradisi saling memaafkan berjabat tangan antar manusia semata, melainkan, hal itu menjadi Pintu gerbang pemaknaan kemenangan atas ujian pembinaan mental (pikiran) selama satu bulan penuh lamanya. Artinya, sejak dalam sebulan ini, seluruh Umat Muslim di Dunia bagi yang meyakininya, telah berhasil menunaikan ajaran Rukun Islam yang ketiga; Puasa di Bulan Ramadhan (bulan penuh keberkahan dan kemuliaan memuliakan sesama manusia). Berhenti merasa diri paling tinggi sendiri di antara yang lain, berhenti membicarakan keburukan orang lain, dan juga yang paling penting lagi, berhenti menginstall pikiran -- pikiran negatif kepada otak yang dapat diserba-manipulatif.  

Sejatinya, dalam Al-Quran (Q.S Al-Baqarah; ayat 183) dijelaskan "Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang -- orang sebelum kalian, agar kamu bertakwa". Secara praktiknya. Berpuasa, bukanlah urusan menyetop segala rasa lapar dan segala dahaga semata sebagai manusia normal yang berhawa nafsu. Dalam konteks pemaknaan yang lebih dalam dan lebih luas lagi, Puasa ialah suatu laboratorium pembinaan intelektual dan mental (pikiran) bagi yang menyadarinya.

Artinya, kita sama-sama dilatih untuk tidak mudah mengklaim diri sebagai (manusia paling suci) hanya dengan karena telah menjalankan Puasa sebulan penuh dan kemudian secara radikal dan sadis menurut ukuran kemanusiaan, dengan seenaknya berhak menempatkan saudara yang berbeda keyakinan dengan kita, kemudian diberi award sebagai kafir tulen atau ahli Neraka yang serba-hina. Pengujian secara pengadilan etis pun. Hal itu sudah jelas tidaklah bisa diterima dan tidaklah seirama dengan spirit Al-Quran seperti yang terkandung dalam Q.S Al-Kafirun (Ayat 6); Lakum dinukum Waliyadiin (untukmu agama / keyakinanmu dan untukku agama / keyakinanku). Membumikan Toleransi di Bumi Manusia.

Penulis meyakini, Puasa merupakan wadah terbaik mengadabkan kita sekalian sebagai manusia yang masih kurang berilmu (sebutan bagi orang yang betul -- betul berilmu / rendah hati), dan juga meminjam kearifan pemikiran tokoh filsafat Yunani terkenal yang bernama Socrates, salah satu singa pikiran ini pernah mengatakan;"Hanya satu yang paling aku tahu, yaitu bahwa aku ini sebetulnya tidaklah tahu apa-apa".

Pernyataan pamungkas di atas, bukanlah menunjukkan kekosongan atau kedangkalan ilmunya si --empunya. Melainkan ialah hal sebaliknya. Ia telah menyampaikan satu pikiran akbarnya yang arif bijaksana dengan semangat menghormati orang lain dalam memberikan pendapat atau mengutarakan pikirannya. Maksudnya secara konteksnya, ia tidak tahu apakah suatu informasi itu bernilai benar atau tidak, sampai dirinya betul-betul melihat atau telah berhasil menyusun bukti-bukti otentik yang bersifat fakta atau dapat dibukti (empirik) dan kemudian ia barulah dapat mengambil kesimpulannya, ya / tidak. Sehingga baru muncullah pendiriannya atas suatu objek atau pendapat yang perlu ia berikan pendapat atasnya.

Budaya Tabayyun atau sikap Klarifikatif seperti hal ini sangatlah penting dibudayakan sebagai umat manusia yang berakal dan berperasaan halus (empati). Dengan mengklaim seseorang dengan arti menghadiahkannya sebuah fitnah (pandangan negatif, yang belum tentu benar adanya hanya berdasar asumsi) ialah suatu kekejaman dan kezaliman intelektual yang tidak adil dan perlu segera diluruskan. Olehnya dimotivasi atas pikiran sadar, penulis sebagai Peserta didik tingkat akhir dari Universitas yang dilabelkan sebagai sarang Islam Liberal, Sarang Pemurtadan, Sarang Sekuler / Kafirnya Islam dari dalam, Penulis merasa bertanggungjawab penuh untuk memberikan informasi yang berimbang atas informasi yang beredar pada media -- media yang sangat aktif menyerang institusi almamater tercinta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai Lokomotif Mercusuar Islam di Indonesia.

Sebelum itu, marilah telusuri jejak langkahnya...

Sejarah UIN Jakarta

Umur Perjuangan tumbuh Kembang UIN Jakarta, hampir dikatakan seirama dan seumur dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia pasca Proklamasi 1945 (Masa Revolusi Fisik). Mengingat mayoritas penduduk Indonesia ialah Umat Islam terbesar di Dunia dan UIN Jakarta sebagai Institusi Pendidikan Islam terbesar di Indonesia. Dalam guratan karya gemilangnya memajukan kehidupan Bangsa. UIN Jakarta telah melewati rintangan -- rintangan hebatnya yang dirangkum melalui babak -- babak tumbuh kembangnya sebagai berikut.

  • Diawali sejak kebutuhan Islam Modern, Embrio UIN Jakarta dapat ditelusuri dari Pendirian Pesantren Luhur (Pada Masa Menjelang Kemerdekaan), Sekolah Tinggi Islam di Padang dan di Jakarta pada 1946, Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, serta pendidikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Departemen Agama RI tahun 1957 di Jakarta, hingga menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekarang.
  • 01 Juni 1957 berdasarkan ketetapan Menteri Agama, Nomor 01 tahun 1957, pendirian Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) diperuntukkan untuk mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri sipil guna mencapai ijazah pendidikan akademi agar menjadi ahli didik agama pada SMU, Sekolah Kejuruan atau Sekolah Agama. Pada saat itu ADIA mempunyai 43 mahasiswa yang terbagi dalam dua jurusan, yakni: Jurusan Syariat (Pendidikan Agama) dan Jurusan Lughat al Arabiyah (Jurusan Bahasa Arab) dan satu jurusan khusus untuk Imam Tentara dengan menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, ditambah dengan Bahasa Indonesia sebagai pengantar mata kuliah umum. Saat itu mahasiswanya hanya terbatas pada pegawai / guru agama di lingkungan Departemen Agama RI.
  • 24 Agustus 1960, dalam perkembangan selanjutnya. ADIA bergabung dengan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) yang berada di Yogyakarta menjadi IAIN al Jamiah al-Hukumiyah, dan ADIA cabang Jakarta berdasarkan PP No. II tahun 1960 ditetapkan sebagai IAIN cabang Jakarta dengan dua Fakultas; Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah. Setelah menjadi IAIN Cabang Jakarta, mahasiswanya tidak lagi hanya berasal dari lingkungan Departemen Agama RI saja.  
  • 25 Februari 1963, setelah assessment atau pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah atas kemajuannya yang Pesat sebagai institusi pendidikan tinggi Islam terbesar di Indonesia. Melalui PP No. II 1963 yang disebutkan bahwa IAIN yang sudah memiliki 3 Fakultas maka dianggap telah mampu berdiri sendiri, maka dengan terbitnya Keputusan Menteri Agama RI No. 49 1963 IAIN Cabang Jakarta menjadi IAIN al Jamiah al Hukumiyah Syarif Hidayatullah Jakarta.
  • Pada masa kepemimpinannya Prof. Dr. Harun Nasution, M.A sebagai rektor (1973-1984) institusi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dikenal sebagai Kampus Pembaharu. Pasalnya, sebagai institusi Islam tertua di Indonesia. Hal tersebut pun bertepatan dengan era Orde Baru yang sedang giat melakukan pembangunan di semua tatanan dan upaya memodernisasi Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pun tidak kehilangan peran dalam memajukan ilmu pengetahuan  dan pembaharuan -- pembaharuan pemikiran Islam dengan pemikirannya yang rasional sesuai kaidah -- kadiah Ilmu Pengetahuan. Bahkan cenderung kontroversial. (pada saat itu mengundang reaksi masyarakat awam). Seperti masuknya mata kuliah Filsafat dalam kurikulum IAIN Jakarta dan pengiriman dosen -- dosen muda terbaik IAIN Jakarta ke kampus -- kampus Barat yang terkenal maju Ilmunya di bidang Metodologi Penelitianya. Pada masa ini pula, pertama kalinya PPs (Program Pascasarjana) diselenggarakan di IAIN Jakarta di antara seluruh lingkungan IAIN.
  • Sejak embrio pembaharuan dikembangkan dan Kemajuan ditata. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia ialah Umat Islam. Maka kemajuan IAIN Jakarta merupakan simbol kemajuan Pembangunan Nasional, khususnya di bidang ilmu Keagamaan. Olehnya, didasari kebutuhan lulusan cendekiawan Islam yang berdaya saing global tidak hanya pada bidang kajian keagamaan, maka perjuangan itu dilanjutkan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. pada masa kepemimpinannya dengan terus membuka Fakultas -- fakultas ilmu umum di luar Fakultas Kajian Keagamaan. Dengan cepatnya. Mulailah bermunculan fakultas dengan basis ilmu -- ilmu umum. Dengan argumentasi sederhananya. Mengingat, Keberhasilan Dunia bisa dicapai dengan Ilmu Dunia pula dengan mengawinkan dengan Ilmu Keagamaan Islam yang baik. Tidak bisa hanya mengandalkan salah satu diantaranya.
  • Puncaknya, pada 20 Mei 2002 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah resmi menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan terbitnya Keppres RI No. 031. Saat itu telah terdapat 9 Fakultas dengan beragam konsen bidangnya masing -- masing. Lompatan akrobatik terstruktur luar biasa ini ialah ikhtiar bersama para alumni IAIN Jakarta yang berkiprah sebagai akademisi dalam memajukan Masyarakat Indonesia dengan mengintegrasikan, Keilmuan, Keislaman dan Keindonesiaan yang diselenggarakan pada almamater tercinta saat ini. Yang mana, Tidak semata mengedepankan Keilmuan dan meninggalkan Keislamannya (Sekuler) seperti mayoritas didikan Barat yang menolak eksistensi Tuhan dan menuhankan Akal sepenuhnya atau lugasnya berpaham Liberal tulen. Dan mengabaikan Bhineka Tunggal Ikanya sebagai Manusia Indonesia yang utuh.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline