Sultan Lingga-Riau Ke-4Sultan Sulaiman Badrul Alam syah (1857-1883)Foto tahun 1867. Sumber: KITLV 3691
Sebagian Istana Kerajaan Lingga-Riau Telah Terlupakan
Wilayah Daik terletak di sebelah selatan Pulau Lingga, Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Pada masa kini wilayah Daik berada dalam wilayah dua kelurahan yakni Kelurahan Daik dan Kelurahan Daik Sepincan. Perkampungan yang berada di sebelah selatan Sungai Daik bagian dari Kelurahan Daik, dan sebelah utara Sungai Daik bagian dari Kelurahan Daik Sepincan. Wilayah Daik pada masa lalu pernah menjadi pusat Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga (1787-1830) dan Kerajaan Lingga-Riau (1830-1913).
Karena berperang melawan VOC, pada tahun 1787, Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga memindahkan pusat kerajaan dari Riau di Pulau Bintan ke Daik di Pulau Lingga. Pada tahun 1795 suasana kembali damai, Sultan Mahmud Riayat Syah terus menetap di Daik. Pengganti Sultan Mahmud Riayat Syah adalah anaknya Tengku Abdurrahman yang bergelar Sultan Abdurrahman Syah. Pada tahun 1818, Belanda berhasil mengadakan perjanjian dengan Sultan Abdurrahman Syah sehingga mengakibatkan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga masuk ke dalam cengkeraman kekuasaan Belanda.
Pada tahun 1830, Sultan Abdurrahman Syah terpaksa menyetujui perjanjian baru yang disodorkan Belanda yang mewajibkan sultan melepaskan wilayah Johor dan Pahang. Karena terikat dengan perjanjian tahun 1818, Sultan Abdurrahman Syah terpaksa melepaskan wilayah Johor, dan Pahang sesuai dengan ketentuan Perjanjian London yang disepakati oleh Belanda dan Inggris tahun 1824. Sultan Abdurrahman Syah merupakan Sultan Lingga-Riau pertama sejak tahun 1830, dan sekaligus Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga terakhir. Pada tahun 1900, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1884-1911), Sultan Lingga-Riau terakhir memindahkan pusat kerajaan ke Pulau Penyengat di Riau. Sejak tahun 1900 berakhirlah Daik menjadi tempat kedudukan sultan. Pada tahun 1911, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah dipecat Belanda. Sultan Abdurrahman Muazzam Syah pindah ke Singapura dan pada tahun 1913, Kerajaan Lingga-Riau dihapus oleh Belanda. Terdapat 6 sultan yang pernah berkedudukan di Daik, yakni,
- Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812), Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga
- Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832), Sultan Johor, Pahang, Riau dan Lingga terakhir (1812-1830) dan Sultan Lingga-Riau pertama (1830-1832)
- Sultan Muhammad Syah (1832-1841)
- Sultan Mahmud Muzzafar Syah (1841-1857)
- Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883)
- Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1884-1911)
Peninggalan sejarah era kerajaan sebagian masih dapat ditemukan di Daik. Peninggalan yang ada antara lain, Masjid Jamik Sultan Lingga-Riau, situs Istana Damnah, pemakaman sultan, kubu pertahanan, meriam dan lain-lain. Selama masa kerajaan terdapat beberapa istana yang ada di Daik, dan pada masa kini hanya ada dua situs istana peninggalan Kerajaan Lingga-Riau yang masih dapat ditemukan dan telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Reruntuhan istana itu terdiri dari Istana Kota Batu yang pernah dibangun oleh Sultan Mahmud Muzzafar Syah (1841-1857) Sultan Lingga-Riau ke-3. dan reruntuhan Istana Damnah milik Sultan Abdurrahman Muazzam Syah (1884-1911) Sultan Lingga-Riau terakhir.
Istana Kota Batu yang dibangun dari batu bata hanya meninggalkan puing-puing bangunan. Sebelum ditetapkan sebagai situs cagar budaya dan mendapatkan perhatian pemerintah, istana berada dalam hutan belukar. Kini reruntuhan istana pun masih kurang terawat sehingga banyak ditumbuhi semak belukar dan akibatnya membuat sebagian pengunjung tidak mau ke sana. Istana Damnah juga bernasib sama, istana yang bertongkat semen dan bagian atas dari kayu hanya menyisakan tongkat dan puing-puing. Sebelum dibersihkan, di atas puing Istana Damnah pernah tumbuh pohon-pohon besar dan semak belukar. Di awal tahun 1990-an hanya jalan setapak yang mengarah ke puing-puing Istana yang sering digunakan masyarakat pergi ke kebun.
Istana Robat Ahmadi, kediaman Yang Dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi (1858-1899) hanya menjadi nama kampung. Wilayah Kampung Robat meliputi Kantor Bupati Lingga. Masyarakat hanya mengenal nama Kampung Robat tanpa tambahan kata Istana dan Ahmadi. Di Kampung Robat jejak reruntuhan Istana belum ditemukan. Sekarang yang dapat ditemukan hanya bekas kolam-kolam, yang dulunya berada dekat Istana. Sekarang ini kolam telah lama mengering, ditumbuhi semak dan pohon buah-buahan. Istana peninggalan sultan lainnya telah terlupakan. Penulis sejak tahun 2017 telah mulai mencari jejak-jejak istana yang terlupakan lewat membuka berbagai catatan sejarah. Lokasi istana yang dicari diketahui berada dalam lahan masyarakat yang telah menjadi hutan belukar dan telah lama terlupakan.
Catatan Sejarah tentang Istana Sultan Kerajaan Lingga-Riau
Raja Ali dalam Tuhfat al-Nafis mengisahkan, setelah Sultan Mahmud Riayat Syah mangkat, penggantinya Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832) yang mendapatkan hasil-hasil dari pertambangan timah di Singkep mengadakan perbaikan kota parit dan pembangunan penunjang istananya. Cerita tentang istana Sultan Abdurrahman Syah, dapat dilihat dalam Korte Schets van het Eiland Lingga en Deszelfs Bewoners terbit tahun 1826 yang ditulis oleh Angelbeek seorang pegawai Belanda yang datang ke Lingga tahun 1819. Dari catatan Angelbeek dapat diketahui tentang situasi Daik dan istana sultan kala itu. Dari catatan Angelbeek diketahui, dekat sebelah kiri muara Sungai Daik terdapat benteng yang dilengkapi meriam. Setelah berlayar menyusuri sungai lebih kurang setengah jam akan tiba di Kampung Cina yang terletak di tepi kiri sungai. Di luar Kampung Cina akan ditemukan kampung orang Melayu