Dalam catatan sejarah, orang Bugis mempunyai peran penting dalam pemerintahan Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga hingga Lingga-Riau. Konflik perebutan tahta Kerajaan Johor antara Raja Kecik yang mengaku anak Sultan Mahmud Syah (1685-1699) dengan Tengku Sulaiman anak Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (1699-1717) telah melibatkan turut campurnya orang Bugis Luwu lima bersaudara. Upu Daing Perani dan empat adik laki-lakinya yang datang untuk mencari kekuasaan di sebelah barat tanah Bugis telah diminta bantuan oleh Tengku Sulaiman untuk mengalahkan Raja Kecik yang telah berhasil merampas tahta Kerajaan Johor dari Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Pada tahun 1722 Upu Daing Perani bersama adik-adiknya, Opu Daing Manambun, Opu Daing Marewah, Opu Daing Celak dan Opu Daing Kemasi berhasil mengalahkan Raja Kecik. Pasukan Bugis berhasil mengusir Raja Kecik dari Riau dan mendudukkan Tengku Sulaiman sebagai Sultan Yang Dipertuan Besar Johor, Pahang, dan Riau bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Untuk balas jasa, Upu Daing Marewah Kelana Jaya Putra dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah menjabat Yang Dipertuan Muda berkedudukan di Riau. Jabatan Yang Dipertuan Muda adalah kepala pemerintahan kerajaan, dan membuat kedudukan orang Bugis berpengaruh besar dalam politik Kerajaan Johor, Pahang dan Riau. Untuk memperkuat hubungan, para bangsawan Bugis melakukan pernikahan dengan para perempuan bangsawan Melayu keluarga Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah.
Tengku Sulaiman juga mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga Datuk Bandar Hasan seorang syahbandar Riau keturunan Bugis. Datuk Bandar Hasan anak dari Daing Tersulah bin Pateh Baka seorang Bugis dari Makasar. Catatan hubungan kerabat ini dapat ditemukan dalam manuskrip silsilah keluarga Haji Encik Usman bin Datuk Laksamana Haji Encik Muhammad Yusuf. Silsilah ditulis oleh Haji Encik Usman bin Datuk Laksamana Lingga Haji Encik Muhammad Yusuf pada 29 Safar 1347 H/15 Agustus 1928. Manuskrip berasal dari rumah Haji Encik Usman di Kampung Tengah, Daik, dan selanjutnya dihibahkan ke Museum Linggam Cahaya, Kabupaten Lingga.
Dalam silsilah dicatat, ibu Sultan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah bernama Encik Nusamah keturunan dari Aceh. Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis juga menyebutkan Encik Nusamah seorang perempuan Aceh (Winstedt, 1932:81). Dalam silsilah catatan Haji Encik Usman, ayah Encik Nusamah adalah Encik Ibrahim bin Datuk Megat bin Datuk Muhammad di Aceh. Encik Nusamah mula-mula dipanggil Datuk Tengah, dan selanjutnya digelar Encik Puan. Gelar tengku di Johor, Pahang, Riau dan Lingga merupakan keturunan Encik Nusamah. Ada saudara laki-laki atau adik-beradik dari Encik Ibrahim yang bernama Encik Jat atau nama lainnya Datuk Bakudrat yang pergi ke Makasar dan menikah di sana. Anak bungsu Enjik Jat dari isteri wanita Makasar seorang perempuan bernama Encik Aisyah. Encik Nusamah dengan Encik Aisyah adalah saudara sepupu. Encik Aisyah bersuamikan seorang laki-laki Bugis yang bernama Tersulah bin Pateh Bakak yang berasal dari Makasar. Dari pernikahan ini lahir Datuk Bandar Hasan yang menjadi saudara sepupu Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah.
Datuk Bandar Hasan menjabat syahbandar Riau dan selanjutnya anak-anaknya menjadi orang penting di lingkungan istana. Datuk Bandar Hasan mempunyai dua orang isteri yang masih kerabatnya. Istri pertama bernama Encik Nonit anak Datuk Nakhoda Abdul Samad bin Datuk Nakhoda Ismail bin Encik Jat bin Datuk Muhammad di Aceh. Datuk Bandar Hasan mendapatkan tiga orang anak, dan salah satunya adalah Haji Ahmad yang syahid pada 18 Juni 1784 bersama Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah saat perang melawan VOC di Teluk Ketapang Melaka. Peristiwa syahidnya Haji Ahmad dalam Tuhfat al-Nafis oleh Raja Ali Haji dikisahkan, maka mengamuklah Dahing Saliking dan Panglima Talibang serta Haji Ahmad maka ketiganya menyerbukan dirinya kepada baris Holanda yang berlapis-lapis itu. Maka seketika ia mengamuk itu maka matilah ia syahid fisabilillah ketiganya itu dengan nama laki-laki (Winstedt, 1932:164)
Selepas berpisah dengan Encik Nonit, Datuk Bandar Hasan menikah dengan Encik Seni adik kandung Encik Nonit. Ada perbedaan besar antara catatan silsilah Haji Encik Usman dan Begbie dalam The Malayan Peninsula Embracing Its History, Manners and Customs of The Inhabitants, Politics, Natural, History, Etc. from Its Earliest Records terbit tahun 1834. Dalam catatan silsilah Haji Encik Usman, istri kedua Bandar Hasan yakni Encik Seni saudara kandung Encik Nonit namun menurut Begbie, Encik Seni yang disebutnya Encik Senaay perempuan dari Bali yang dikenal dengan nama Peties seorang hamba atau budak milik isteri Datuk Bandar Hasan yang bernama Inchi Sungei Barro anak perempuan Laksamana Dain Toomo kerabat Engku Puteri.
Menurut silsilah catatan Haji Encik Usman pernikahan Datuk Bandar Hasan dengan Encik Seni binti Nakhoda Abdul Samad mendapatkan empat orang anak yakni Encik Ibrahim, Encik Muhammad, Encik Abu, dan Encik Mariam. Encik Ibrahim bersama abang tirinya Haji Ahmad melibatkan diri mengikuti Raja Haji Fisabilillah berperang dengan VOC di Teluk Ketapang, Melaka. Encik Ibrahim bersama pasukannya dalam kubu terpisah dengan Raja Haji. Sebelum menyerang kubu pertahanan Raja Haji, pasukan VOC terlebih dahulu menyerang kubu pertahanan Encik Ibrahim. Gempuran pasukan VOC membuat Encik Ibrahim dan pasukannya tidak mampu bertahan sehingga terpaksa berundur pindah ke kubu Raja Haji. Mengenai mundurnya Suliwatang Encik Ibrahim dan seterusnya berpindah ke kubu Raja Haji dalam Tuhfat al-Nafis Raja Ali Haji mengisahkan,
Maka naiklah seldadu Holanda beberapa ribu sebelah Pernu dipintasinya daripada sebelah darat belakang kubu Tanjung Palas kubu yang besarnya sekali tempat Yang Dipertuan Muda itu dan satu kubu kecil sebelah darat, yaitu kubu Encik Ibrahim anak Bandar Hasan. Maka Holanda itu pun menyerkaplah kepada kubu Encik Ibrahim itu lalulah berperang beramuk-amukan. Kubu itu pun alahlah maka Encik Ibrahim itu pun larilah ke kubu tempat Yang Dipertuan Raja Haji itu memberi tahu mengatakan seldadu sudah dekat memintas sebelah darat (Winstedt, 1932:163)
Encik Ibrahim menjabat suliwatang di Lingga pada zaman Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar (1806-1831). Suliwatang merupakan nama jabatan yang berasal dari Bugis. Menurut Haji Ibrahim dalam bukunya Cakap2 Rampai2 Bahasa Melayu Johor Jilid 1 terbit 1868, pada bagian kisah Arti Segala Gelaran di Dalam Kerajaan Johor, dikisahkan gelaran suliwatang merupakan gelaran orang Bugis yang bermaksud ganti batang tubuh raja. Ganti batang tubuh raja di Riau yakni ganti batang tubuh Yang Dipertuan Muda.
Menduduki jabatan suliwatang menjadikan Encik Ibrahim pejabat penting dan bagian dari orang kepercayaan Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar di Lingga. Datuk Suliwatang Encik Ibrahim di Lingga bertugas menjaga ketertiban dan ketentraman rakyat. Menegakkan undang-undang kerajaan, dan menindak mereka yang melakukan pelanggaran. Encik Muhammad saudara kandung Datuk Suliwatang Encik Ibrahim juga mendapat jabatan penting sebagai Datuk Syahbandar di Lingga. Encik Mariam adik kandung Encik Ibrahim juga tokoh penting istana. Encik Mariam istri ketiga dari Sultan Mahmud Riayat Syah. Encik Mariam bergelar Encik di Atas. Pernikahan Encik Mariam dengan Sultan Mahmud Riayat Syah dilaksanakan di Riau. Encik Mariam melahirkan Tengku Abdurrahman.
Selepas kemangkatan Sultan Mahmud Riayat Syah tahun 1812 di Daik, Pulau Lingga, Tengku Abdurrahman dengan dukungan Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar naik tahta kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga bergelar Sultan Abdurrahman Syah. Menurut Raja Ali Haji dalam Tuhfat al-Nafis, pada hari Kamis jam pukul 12 tanggal 15 Zulhijah 1225 Sultan Mahmud Riayat Syah telah berwasiat kepada Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar, jika baginda mangkat Tengku Abdurrahman yang akan diangkat sebagai sultan. Datuk Suliwatang Encik Ibrahim dan Syahbandar Encik Muhammad termasuk orang-orang yang menjadi saksi saat Sultan Mahmud Riayat Syah berwasiat kepada Yang Dipertuan Muda Raja Jakfar (Winstedt, 1832:208)