Lihat ke Halaman Asli

Tolok Ukur Kesuksesan Pendidikan

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1334121601137250568

Perasaan gelisah melanda seluruh orang tua murid. Mereka khawatir kalau nanti anaknya tidak mampu menjawab soal-soal UN. Bukan hanya orang tua, Sekolah pun ada yang merasa resah  menghadapi UN. Apakah para siswa lulus atau tidak? Jika mereka lulus merupakan berita gembira, tetapi jika tidak lulus, berita menyedihkan untuk ukuran keberhasilan pendidikan sekolah bersangkutan.

Bagi sekolah, saat ini tingkat kualitas pendidikan cendrung dikaitkan dengan kelulusan siswa, yang sering kali menjadi tolok ukur keberhasilan sekolah dalam mendidik anak. Semua itu akan mempengaruhi pencitraan sekolah di mata masyarakat. Sekolah akan dinilai buruk oleh masyarakat bila banyak siswanya yang gagal UN. Namun tentunya orang tua yang cerdas akan mempertanyakan efektifitas pendidikan sekolah, apakah sudah menjalankan proses belajar mengajar dengan baik? Selain itu, bagaimana penerapan kurikulumnya? Bagaimana guru-gurunya mengajar? dlsb. Kesibukkan pun terjadi dalam menghadapi UN itu, dengan target semua siswa lulus UN. “Banyak jalan menuju UN”, itu yang dilakukan oleh sekolah. Beberapa cara dilakukan, diantaranya dengan melakukan try out yaitu para siswa diminta untuk mengisi soal-soal prediksi UN. Biasanya, penyelenggaraannya atas kerjasama dengan lembaga Bimbingan Belajar tertentu. Cara lain melalui les intensif yaitu dengan menambah jam pelajaran. Banyak siswa yang rutin pulang sore karena mengikuti les. Mungkin ada juga melalui cara kotor dengan melakukan kecurangan-kecurangan. Kecurangan dilakukan secara sistematis dan mendapat dukungan dari kepala sekolah dan guru. Mereka memberikan kunci jawaban UN kepada siswa lewat SMS atau selembar kertas. Na’ûdzu billâh

UN itu memang penting. Tetapi apakah hanya UN yang dijadikan tolok ukur kecerdasan manusia? Sekolah dipandang berhasil  mendidik siswa apabila ia mampu memperoleh nilai minimal kelulusan yang dijadikan standar dalam UN. Padahal di samping kecerdasan intelektual (IQ), manusia juga membutuhkan kecerdasan spiritual (SQ).

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang bertumpu pada hati dan  berhubungan dengan jiwa sadar. Yang dimaksud dengan hati  ialah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada. Hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis; iman termasuk di sini. Dalam kehidupan nyata, orang ber-IQ tinggi cenderung mampu mencari peluang- peluang hidup. Tetapi ada juga orang yang sukses padahal ia ber-IQ biasa-biasa saja. Ada juga orang ber-IQ melakukan tindakan-tindakan bodoh bahkan lebih hina dari hewan. Kenapa ada orang pintar bertindak tidak berperikemanusian? Karena mereka kurang atau tidak memiliki kecerdasan spiritual. Mereka punya hati tetapi hatinya “sakit” atau “mati”. Allah swt. berfirman:

“Allah telah menutup hati mereka, pendengaran mereka, penglihatan mereka, dan bagi mereka siksa yang besar “ (Al-Baqarah/2: 7).

Hati yang telah tertutup oleh noda-noda hitam akan menghalangi pantulan cahaya kebenaran. Orang yang hatinya tertutup akan sulit menerima kebenaran. Apa yang dilakukannya sekalipun dipandang salah tetap saja akan dinilai benar. Sekolah sudah saatnya memperhatikan kecerdasan spiritual (SQ). SQ  akan menjawab kesulitan-kesulitan hidup yang tidak terselesaikan dengan IQ. Baik SQ maupun IQ, keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dibutuhkan kerjasama antara IQ dan SQ agar terjadi keseimbangan. Orang yang hanya mengandalkan IQ, akan cenderung menjadi sekuler. Begitu juga orang yang cenderung kepada SQ saja, cenderung menjadi sufi. Ada beberapa indikator keberhasilan sekolah yang berkaitan dengan kecerdasan spritual (SQ), diantaranya:

Siswa berbakti pada orang tua

Allah swt. berfirman, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. Ayat itu menunjukan bahwa hukumnya wajib berbuat baik kepada orang tua itu wajib. Ibu yang mengandung selama sembilan bulan, mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan. Merawat, menyusui, menggatikan popok bayi tanpa merasa jijik. Sungguh besar jasa orang tua kepada anak. Maka sudah menjadi kewajiban apabila anak berbakti kepada ayah dan ibu. Di sekolah, siswa diajarkan nilai-nilai adab terhadap orang tua. Bagaimana seharusnya mereka bersikap, berbuat baik terhadap ayah dan ibunya. Indikator lainnya adalah pertama, anak bersikap, berbicara, dan berperilaku sopan kepada kedua orang tua. Kedua, anak berusaha mentaati nasehat orang tua. Ketiga, orang tua mengakui bakti baik anaknya. Apakah berbakti kepada orang tua sudah menjadi target kelulusan? Kalau belum, maka sekolah belum bisa dikatakan berhasil mendidik siswanya.

Siswa sholat dengan kesadaran

Sholat menempati urutan yang penting dalam Islam, ia merupakan tiang agama. Jika Islam diibaratkan sebuah bangunan, maka bangunan akan kokoh bila ditopang oleh tiang-tiang yang kuat. Bagi mereka yang melalaikan sholat bahkan meninggalkannya sesungguhnya mereka telah atau sedang merobohkan Islam. Musuh-musuh Islam sudah mengetahui kekuatan sholat. Mereka cenderung berusaha untuk melalaikan umat Islam dari sholat, diantaranya membuat hiburan yang menarik di berbagai media baik yang berbentuk audio, visual, atau audio visual. Perlu diketahui, bahwa amalan yang pertama kali akan dihisab adalah sholat. Ada hubungan erat antara sholat dengan amal. Sholat dapat berfungsi mencegah perbuatan mungkar, apabila rukun sholat memenuhi hal-hal berikut: Pertama, rukun sholat harus sesuai dengan sunnah. Kedua, ruh sholat harus terfokus dalam kekhusuan. Ketiga, atsar sholat dapat menjaga pelakunya dari perbuatan-perbuatan mungkar. Jika  ketiga unsur ini terpenuhi, maka dapat dikatakan sholat tersebut adalah sholat yang sukses. Sholat harus diperkenalkan kepada anak mulai sejak kecil. Sehingga anak sudah terbiasa dengan sholat. Masa kecil akan lebih mudah membentuk karakter anak dibandingkan masa dewasa. Bila sholat sudah menjadi kebiasaan anak diharapkan akan menumbuhkan kesadarannya akan sholat. Lantas, apa saja indikator bahwa anak itu mengerjakan sholat dengan penuh kesadaran? Pertama, bila mendengar adzan anak bersegera untuk sholat. Kedua, bila belum melakukan sholat anak merasa berhutang. Ketiga, bacaan dan gerakan sholatnya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Keempat, semua bacaan sholat mulai dari takbir sampai salam anak memahaminya. Sekarang, adakah sekolah SD yang menargetkan bila siswanya lulus, ia akan sholat dengan penuh kesadaran tanpa harus disuruh oleh orang tua? Jika tidak ada, maka sekolah itu dinilai kurang sukses (untuk tidak menyebut gagal) dalam mendidik siswanya.

Siswa tartil baca Alqur'an

Al-Qur'an merupakan kalâmullah yang diwahyukan kepada Rasulullah Saw. dan membacanya merupakan ibadah. Dalam membaca Alqur'an terdapat rambu-rambu yang mesti diperhatikan, agar bacaannya tidak salah. Maka ilmu tajwid merupakan alat untuk dapat mengarahkan bacaan Al-Qur'an itu benar. Di sekolah, siswa diajarkan  membaca Al-Qur'an secara tartil dengan menggunakan metode tertentu. Sudah banyak metode-metode yang bisa digunakan untuk membaca Al-Qur'an secara tartil. Indikatornya adalah anak senang membaca Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan itu semua, target kelulusan bukan dinilai dari sisi kognitifnya saja, melainkan dilihat sisi afektifnya pula, yaitu akhlaq (SQ). Jika sisi akalnya saja yang dinilai, maka itu merupakan bentuk reduksi pendidikan. Hal inilah yang terjadi sekarang di negeri ini. Akhlak kurang mendapat perhatian sebagai target lulus. Misalnya, ada anak yang dipenjara karena ia berbuat kriminal, lalu ia diizinkan mengikuti UN dan ternyata lulus. Ada anak yang bermasalah, kemudian ia masuk paket A/B/C dan ia lulus. Sementara ada anak yang akhlaknya baik, tapi nilainya tidak mencapai standar tetap tidak lulus. Sungguh ironis? Akhlak (SQ) kurang diperhatikan. Maka wajar, suatu negeri bisa menjadi sekuler apabila dibangun oleh SDM-SDM yang cenderung kepada sisi kognitif saja dan cenderung mengabaikan sisi afektif. Sekolah yang baik adalah sekolah yang menargetkan kelulusan siswanya memiliki kemampuan di bidang IQ dan SQ. Karena IQ dan SQ seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dengan mendapatkan SQ, diharapkan kelak anak tidak tumbuh berkembang menjadi peribadi yang cenderung sekuler karena hampa spiritual. Dengan demikian, maraknya sekolah Dasar dan Menengah Islam hari ini, diharapkan dapat memutus generasi sekuler yang sudah mewabah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline