Lihat ke Halaman Asli

Meyta Salma

Mahasiswa

Menyandingkan Suara Azan

Diperbarui: 15 Maret 2022   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Gaduh akibat pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang dianggap menyandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing. Kementerian Agama telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2022 mengenai pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Dalam surat ini diatur penggunaan waktu dan kekuatan dari pengeras suara di masjid dan musala. Dikutip dari CNN Indonesia, netizen riuh usai Menteri Agama yang membandingkan suara speaker masjid dengan gonggongan anjing. Yaqut mengatakan pengeras suara di majid harus diatur agar tercipta hubungan yang lebih harmonis antar umat beragama. Dia juga mengibaratkan gonggongan anjing yang mengganggu hidup rukun bertetangga.

Maksim

Menyandingkan suara azan dengan gonggongan anjing yang memang terbuka itu menimbulkan multitafsir. Jika dilihat dari makna kata tersebut antara gonggongan anjing dan suara azan, dari kedua kata tersebut memiliki arti yang berlawanan. Sangat bertolakbelakang antara suara azan yang diagungkan dengan suara hewan yang bahkan dianggap rendah dalam syariat islam. Pandangan masyarakat mengenai suara azan yang disandingkan dengan gonggongan anjing itu sesuatu yang berlawanan sehingga menimbulkan polemik. Sangat disayangkan, ungkapan tersebut berasal dari Menteri Agama.

Adanya kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual, yakni maksim tutur. Kaidah-kaidah yang mengatur tindakan, penggunaan bahasa, dan interpretasi terhadap tindakan dan ucapan lawan tutur. Grice (dalam Jumadi, 2013:101) mengemukakan adanya prinsip kerja sama yang berbunyi “Buatlah sumbangan percakapan Anda seperti yang diinginkan pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang Anda ikuti”. Dalam pelaksanaan implikatur percakapan dengan memperhatikan maksim-maksim atau kaidah-kaidah kebahasaan yang ada hendaknya penutur menyampaikannya sesuai fakta. Diharapkan juga penutur memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Sebuah kontribusi yang relevan antara penutur dan petutur agar terjalin kerjasama yang baik dalam pembicaraan. Dan, penutur juga harus menggunakan tuturan secara langsung, jelas, dan tidak kabur.

Ungkapan yang dikemukakan oleh Menteri Agama terkait suara azan yang disandingkan dengan gonggongan anjing dianggap melakukan pelanggaran maksim. Pilihan diksi yang dianggap menimbulkan multitafsir di kalangan masyarakat. Seperti yang disampaikan Profesor Aceng Ruhendi di Islamic Lawyers Forum, mengenai ungkapan yang dianggap merupakan sebuah kemiskinan wujud ekspresi. Pilihan diksi tersebut dianggap ada maksud lain yang ingin diungkapkan oleh Menteri Agama tersebut. Ungkapan tersebut dianggap telah melanggar semua maksim yang ada dalam teori pragmatik.

Dalam hal ini, menyandingkan suara azan dengan gonggongan anjing dianggap sesuatu yang tidak setara yang ia coba sandingkan sehingga menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Ungkapan yang dianggap tidak relevan merupakan salah satu pelanggaran dari maksim relevansi. Tidak adanya hubungan antara suara azan dengan gonggongan anjing yang makna dari kata tersebut sudah berbeda jauh. Dianggap merendahkan karena menyandingkan sesuatu yang sangat suci dengan sesuatu yang dalam pandangan Islam sendiri dianggap najis. Dengan ungkapan itu, banyaknya pihak yang terluka yang merasa dihina dan direndahkan.

Pemaknaan suara azan dan anjing oleh kaum Muslim, sangat berlawanan. Bagi umat Muslim, azan dianggap suatu hal yang suci atau sakral bahkan memiliki nilai yang ilahiah. Sedangkan, anjing dianggap hewan yang najis karena air liurnya. Bahkan, suatu hadist menyebutkan jika kita terkena jilatan dari anjing maka kita harus menyucikannya dengan cara mencucinya tujuh kali. Menyandingkan suatu hal yang dianggap tidak setara bahkan maknanya sangat berlawanan sehingga menimbulkan polimek yang terjadi di masyarakat. Apalagi diungkapkan oleh pejabat publik yang dianggap “paham” dengan makna tersebut.

Adanya maksim ini dianggap mampu mengatur dan menjadi acuan dalam berkomunikasi. Tujuannya, agar tuturan yang dituturkan penutur dapat ditangkap dengan jelas maksudnya oleh petutur dan tidak menimbulkan multitafsir. Penggunaan analogi yang dianggap kurang pantas dan tidak relevan pun menjadi polemik yang terjadi. Dalam hal ini yang harus diperhatikan ialah pilihan diksi yang akan diungkapkan sehingga tidak terjadi pelanggaran maksim dan menimbulkan kontroversi. Berhati-hatilah dalam bertutur apalagi jika penutur merupakan pejabat publik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline