Takdir. Ada dua wilayah yang berdampingan dengan hidup kita; wilayah Allah dan wilayah manusia. Kita harus paham konsep ini sebab di dalamnya ada seni menerima ketentuan-Nya. Wilayah pertama, wilayah Allah. Pada wilayah ini, kita hanya cukup terima, ikhlas, dan sabar. Contohnya bentuk fisik kita, dilahirkan dari keluarga yang bagimana, rezeki, maut, dan jodoh. Semuanya sudah ditetapkan dan tidak akan dihisab. Wilayah kedua, wilayahnya manusia. Pada wilayah ini, bukan berarti segala hal terjadi di luar kehendak-Nya, tapi wilayah ini adalah wilayah yang Allah izinkan manusia untuk memilih. Contoh, dalam menjemput rezeki, kita menggunakan cara halal atau haram? Allah menitipkan wilayah kedua ini kepada manusia agar memberikan kesempatan kita untuk berpahala dengan memilih jalan yang Allah ridhoi. Makanya, pada wilayah ini, semua yang kita pilih akan dihisab. Hati-hati...
Mari studi kasus. Throwback masa pengumuman SBMPTN, deg-degan? Pasti. I feel, haha. Setelah berjuang keras demi menjadi mahasiswa kampus impian, tentu hasil yang di inginkan adalah yang sesuai harapan. Siapa juga yang nggak mau lolos? Seenggaknya kalau bukan untuk diri sendiri, kan, untuk orang tua. But the fact is, jumlah pendaftar dan kuota penerimanya berbeda jauh. Kita tidak bisa pungkiri itu. Maka harus ada yang lolos dan tidak lolos. Hal ini di luar kendali kita, dan tentu saja, tidak akan dihisab. Sedih? Jelas. Tapi terima aja. Balik ke konsep takdir. What things that we can control? Kita bisa milih mau merespon seperti apa. Nangis, ngamuk, marah, diem seharian, mengunci diri, ikhlas, terserah. Pilihannya ada di tangan kita. Perlu diperhatikan sebagai muslim, ada baiknya kita memilih hal-hal yang disukai Allah aja. Supaya ujungnya pahala, bukan dosa. Umar bin Khattab pernah bilang, "Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku dan apa yang ditakdirkan untukku takkan pernah melewatkanku." Yakin aja. Allah Maha Tau, kita enggak. Maka dapat selamat atau pun semangat dari LTMPT, semoga tidak lantas membuat diri kita menjadi sombong atau putus asa. Kuncinya satu: terima dengan lapang.
.....................................................
Tolong pintu jangan di banting. Drama per angkut an umum dimulai kembali di masa per kampus an ini, setelah vakum selama masa putih abu-abu, dan terakhir aktif menggunakannya saat masa putih biru. Sedikit ingin bercerita tentang si biru berpintu tiga ini. Cerita kilas kembali kepada perintilan-perintilan lucu yang ada di dalamnya. Mulai dari drama kursi penuh, duduk dikursi artis jadi pusat perhatian, belajar teknik menahan pegal bagi diri sendiri, adanya pengamen yang tiba-tiba datang, tak ada uang kembalian, pernah juga sudah ku bilang kiri tapi malah tak berhenti, nge 'tem' lama ternyata jalan dengan penumpang sepi, dan apesnya turun masih harus jalan lagi. Segalanya terekam menjadi cerita-cerita tersendiri. Sekarang banyak yang berubah dari si kursi 4-5 dan satu kursi artis ini, yang dulunya diminati banyak orang, sekarang sepi dan kalah dengan kendaraan roda dua yang bisa datang sendiri melalui aplikasi. Dulu dia jadi idola, sekarang hanya jadi sering kita lewati saja.
Perubahan pada akhirnya hanya menyampaikan bahwa kalian bisa meniti usaha yang tiada henti, untuk menerima kejutan-kejutannya yang akan ia bawa silih berganti.
.....................................................
Melangkah. Hidup adalah tentang perjalanan. Menyusuri dermaga mencari perahu, bersandingan arus yang tidak menentu. Kita hanyalah budak waktu. Berlomba-lomba manusia keluar dari lingkaran itu, tapi jarum jam terus berputar tanpa kenal lelah. Apa yang dikejar? Jika telah tercapai, lalu apa? Lihat negeri seberang sana, orang-orang berambisi meraih dunia, demi bahagia, katanya. Ujungnya? Mati bunuh diri. Benarkah tujuan hidupnya demikian adanya? "Start from the end!" begitu kira-kira kata seorang dulu saat masa menengah atas. Untuk memilih tujuan, tentukan dulu cerita akhirnya. Dengan begitu, kita bisa melihat jalan apa saja yang harus ditempuh. Teringat Ust. Felix pernah berkata, "Life is choice." Kita bebas menentukan pilihan akhir cerita dalam buku kehidupan. Hanya ada dua pilihan: surga atau neraka. Nampaknya, semua manusia menginginkan surga. Siapa gerangan yang memilih neraka melainkan setan dan iblis akan menjadi temannya? Namun, seringkali kita terjebak dalam dimensi waktu. Membiarkan diri terhenti sebab terbuai akan lezatnya duniawi. Sampai tanpa sadar, nyawa telah tiba di kerongkongan. Sakaratul maut! "Ya Allah, ampuni...," katanya penuh sesal. Terlambat.
Hidup adalah perjalanan. Menapaki langkah demi langkah, berjuang untuk dapatkan Jannah. Ya, kita hanyalah musafir yang sedang singgah. Berhenti di tengah jalan tak mengapa, asal tidak selamanya. Betapa beruntungnya mereka yang Allah beri karunia dalam hidupnya. "Setiap lelah pasti terbayarkan," begitu pikirnya.
Hidup adalah tentang perjalanan. Berpindah dari takdir satu ke yang lainnya, bertemankan ikhtiar dan tawakal semata hanya karena-Nya. Sebab kita hanyalah hamba. Sungguh, tiada yang lebih penting dalam perjalanan selain menggenggam tujuan mulia, ibadah dan menjadi khalifah. Maka langkah yang kita tapaki haruslah mencipta makna dan berakhir surga, bukan sekadar kesenangan semata yang berujung dosa. Kita hanyalah hamba, yang tidak punya daya dan upaya melainkan pertolongan dari-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H