Lihat ke Halaman Asli

JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan Dokter di Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13919367761852946607

Slogan “mencegah lebih baik dari pada mengobati” agaknya menjadi abang-abang lambe (manis di bibir-red) saja bagi pemerintah. Pasalnya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang baru-baru saja di-booming-kan, jika dipelajari lagi masih jauh dari prinsip pencegahan (preventif). Prinsip sederhana dari JKN adalah bagaimana menjaminkan kesehatan pada suatu pihak (kalau di sini Askes Persero menjadi salah satu pihak yang ditunjuk pemerintah sebagai pihak penjamin) sehingga pada satu waktu tertentu, ketika ada salah satu warga yang sakit, ia berhak mengklaim untuk mendapatkan perawatan dengan biaya seminim mungkin. Sehat menjadi tanggung jawab mereka yang menginginkan sehat dan mendapatkan perawatan yang layak dengan membayar sejumlah iuran tertentu. Harapan dari sistem tersebut adalah adanya subsidi silang dari pihak yang tidak mampu dari pihak-pihak yang mampu dalam pembiayaan administrasi rumah sakit. Selain itu, sistem ini diharapkan bisa meningkatkan equity (keadilan) dalam hal pelayanan kesehatan tanpa pandang bulu.

“Tidak boleh menolak pasien!”, “Pasien miskin tidak boleh ditolak”, dan berbagai tagline dalam berita yang sering dikutip dari pernyataan pejabat daerah maupun pusat memberikah harapan yang besar pada masyarakat yang selama ini notabene sedikit termarginalkan karena status miskin ataupun kurang mampu yang disandangnya. Hal tersebut bagaikan oase yang muncul secara tiba-tiba di saat dahaga melanda. Seolah-olah ada malaikat baru yang bernama BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dengan sistemnya yang bernama Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tak sedikit pihak yang mengritik, namun juga tak sedikit pihak yang mendukung.

Bagaimana kita menyikapinya? Menjadi salah satu pihak yang mendukung atau sebaliknya? Tunggu dulu! Kita sedikit bicarakan ini bersama-sama agar bisa menyimpulkan dan mengambil sikap yang tepat. Jangan terburu-buru dulu untuk menyalahkan satu pihak tertentu. Alangkah bijaknya jika saat ini kita mempelajarinya dulu sebelum menyalahkan dan membenarkan kemudian. Tanpa membahas lebih jauh tentang iuran wajibnya, di sini saya lebih banyak membahas dari sisi tenaga medisnya, yaitu dokter. Saya yakin pembuat kebijakan paham mengenai hal ini, namun di luar itu barangkali tidak banyak yang mengetahui.

Data yang dirilis oleh Kemenkes terbaru menyebutkan bahwa jumlah dokter umum hingga akhir 2013 berjumlah 42.398 di seluruh Indonesia. Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang diperkirakan berjumlah 240 juta jiwa, maka paling tidak rasio dokter pasien secara kasar adalah 1 : 5660. Artinya paling tidak satu dokter menangani sekitar 5.660 pasien. Rasio ini barangkali terlalu mengada-ada, karena secara logis tidak mungkin semua warga negara Indonesia sakit pada saat yang sama. Jadi, lebih mudah kita buat perkiraan. Misal 20% dari warga miskin di Indonesia berobat (20% dari 28,07 juta [1] orang orang miskin[2] adalah sekitar 5.614.000 penduduk), maka seorang dokter umum harus menangani kurang lebih 663 pasien. Seorang guru menghadapi 30 murid sehat saja sudah kebingungan, apalagi seorang dokter harus menghadapi pasien (yang notabene sakit) sebanyak itu. Di sini terlihat jelas ketidaksesuaian rasio antara tenaga medis dan pihak yang harus dilayani. Padahal ini masih perkiraan kasar dari 20% penduduk miskin yang sakit, dan kenyataannya di lapangan bisa lebih dari itu.

1. Melihat Jumlah Dokter di Indonesia (yang masih Kurang)

Penyelenggaraan JKN ini seolah-olah “memaksa” dokter untuk bunuh diri dengan harus melayani pasien segudang. Lain soal apabila jumlah dokter umum di Indonesia sedikit lebih banyak, sehingga paling tidak rasio pasien dokter 1: 100 (Kuba menjadi negara pertama yang dianggap memiliki rasio dokter pasien paling ideal, yaitu 1:104). Defisitnya jumlah dokter di Indonesia dan tenaga medis lainnya seperti perawat, bidan, dan spesialis menjadi salah satu bukti kuat bahwa Indonesia layak dikategorikan negara dengan tingkat kekurangan terhadap fasilitas penyedia layanan kesehatan (dokter, suster, dan bidan) pada level kritis/gawat (critical shortage).[3]

Dari sini muncul satu kesimpulan bahwa jumlah tenaga pelayan kesehatan primer masih kurang sehingga tidak berlebihan jika muncul pertanyaan, “apakah penyelenggaraan JKN ini masih terlalu terburu-buru mengingat minimnya tenaga medis yang ada ataukah ada yang salah dengan konsep JKN itu sendiri?”

2.Sekolah Dokter Mahal

Jika di Indonesia ini jumlah dokter masih kurang, pertanyaannya adalah “why” alias mengapa bisa terjadi defisit dokter. Apakah orang Indonesia terlalu malas belajar kedokteran ataukah ada alasan lain?

Tidak bisa dipungkiri bahwa standar kompetensi dokter itu cukup tinggi. Tidak semua orang bisa menjangkaunya, namun bukanlah sebuah kemustahilan bagi orang untuk menjangkaunya, dengan catatan bekerja keras dalam mempelajarinya. Di Indonesia banyak sekolah kedokteran. Tahun 2013 setidaknya 5600 dokter baru yang sudah tersertifikasi [4]. Tentu ini bukan angka yang sedikit. Namun setelah berlakunya sistem pembiayaan pendidikan yang baru tahun 2013 lalu, profesi dokter menjadi salah satu profesi dengan biaya yang cukup mahal (maksud saya paling mahal). UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang dibayarkan per semester bagi mahasiswa jurusan kedokteran paling sedikit 15 juta[5].

Mahalnya sekolah kedokteran bukanlah menjadi satu-satunya alasan orang untuk memilih meninggalkan profesi  tersebut. Profesi dokter di manapun ia berada merupakan salah satu profesi yang memiliki tingkat risiko cukup tinggi. Seorang dokter diizinkan membelah daging pasiennya dengan pisau yang ada di tangannya untuk mencari sumber penyakit yang diderita pasiennya. Jika pasien selamat, dokter dan keluarga lega. Namun jika yang terjadi sebaliknya, seorang dokter (sekalipun mempunyai niat yang baik untuk membantu pasien) bisa dianggap pelaku malapraktik, dokter tidak berkompetensi, dll. Hal yang tak kalah menarik adalah dokter bisa dipidanakan karena kealpaannya.

Dengan berlakunya JKN, maka sekolah kedokteran akan sedikit lebih susah mengingat istilah dokter umum akan ditiadakan dan akan digantikan dengan istilah dokter layananan primer. Kompetensi dokter layanan primer meliputi kontak pertama dan langsung dengan pasien, dapat mendiagnosis semua macam penyakit, gejala penyakit, usia, kelamin, dan ikut berperan dalam pencegahan penyakit secara umum [6]. Kompetensi ini sedikit lebih mirip dengan dokter spesialis. Beban seorang dokter layanan primer nantinya juga semakin besar, yaitu tidak sekedar memberikan pelayanan kesehatan (kuratif), namun juga dituntut melakukan upaya promotif dan preventif, sekaligus menjalin jejaring sehingga biaya kapitasi layanannya bisa lebih besar [7]. Harapannya, jika biaya kapitasi [8] semakin besar, maka pendapatan dokter juga akan semakin besar.

Padahal batasan tugas seorang dokter itu sudah jelas, yaitu pada ranah kuratif (pengobatan), bukan preventif pun promotif. Ini tentu akan membebani tugas seorang dokter dan secara langsung akan memarginalkan peran sarjana kesehatan masyarakat dan semacamnya dalam dunia kesehatan.

3.Nasib Dokter masih belum Jelas

Dengan berlakunya JKN dan BPJS, maka beban dokter semakin bertambah. Jasa pelayanannya dihargai murah, dan gaji per bulannya masih serba tidak jelas. Berapa gaji per bulan dari seorang dokter umum yang melayani pasien BPJS masih belum jelas. Hal ini juga dibenarkan oleh Direktur Pelayanan PT Askes (persero) sendiri selaku pelaksana BPJS, Fadjriadinur, dengan menyatakan pada Kompas Health, “Dokter layanan primer memang tidak memiliki pemasukan tetap karena biaya kapitasi yang mungkin berubah tiap bulannya.” (KompasHealth,7/12014)

Sehat memang bukan tanggung jawab individu dan dokter saja, namun melibatkan banyak pihak terutama negara yang mempunyai kuasa untuk meregulasi segala hal yang berkaitan dengan ketersediaan jasa layanan kesehatan. JKN masih berorientasi pada seberapa tangkas dan pedulinya tenaga kesehatan dalam menangani orang sakit, bukan justru bagaimana memberikan edukasi sedini mungkin pada masyarakat tentang bagaimana seharusnya hidup dan berperilaku sehat agar terhindar dari bermacam penyakit.

Sehat itu tanggung jawab bersama, bukan tanggu jawab dokter semata. Negara wajib menjaminnya dengan kekayaan yang negara punya, bukan dari iuran dari para warganya.

______________

Catatan Kaki:

[1] Data BPS (Badan Pusat Statistik) per Maret 2013.

[2] Perkiraan orang miskin diambil karena melihat dari sisi edukasi dan keterbatasan dalam segala hal yang membuat mereka memiliki kerentanan terhadap penyakit jauh lebih besar dibandingkan dengan kalangan yang lain.

[3] Lihat referensi berikut http://www.gmu.ac.ae/careandshare/worldwide.html

[4] Lihat referensi berikut (http://edukasi.kompas.com/read/2012/10/17/0553462/Hasil.Uji.Kompetensi.Pengaruhi.Status.Akreditasi)

[5] UKT (Uang Kuliah Tunggal) standar Universitas Airlangga Tahun 2013.

[6] Ketua Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia, Sugito Wonodirekso, referensi lengkap di http://health.kompas.com/read/2014/01/12/1423071/Ke.Depan.Takkan.Ada.Lagi.Dokter.Umum

[7] Fadjriadinur, Direktur Pelayanan PT Askes (persero) dalam pernyataannya di http://health.kompas.com/read/2014/01/07/0956205/Dokter.Takut.Tekor.Ini.Jawaban.BPJS

[8] Biaya Kapitasi sama halnya Tarif Kapitasi, yaitu besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. [PMK No. 69 tahun 2013 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan JKN)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline