Dampak dari pandemi COVID-19 yang telah melanda dunia mulai dari awal tahun 2020 sangat luas, tidak hanya berpengaruh pada kesehatan masyarakat, melainkan juga mewarisi implikasi pada sistem politik serta hukum di beragam negara.
Di tengah situasi darurat, banyak negara mengalami tantangan kompleks dalam menjaga keamanan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab mengambil keputusan berat demi penanganan pandemi. Mereka berusaha untuk tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan aturan hukum tanpa mengabaikan tugas utama mereka.
Di Indonesia, pemerintah telah merilis Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang kemudian diresmikan sebagai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dalam undang-undang ini, dinyatakan bahwa pejabat pemerintah memiliki imunitas dan pengeluaran biaya untuk penanganan pandemi COVID-19 tidak dianggap sebagai kerugian negara.
Hal ini berarti pejabat yang bertanggung jawab atas alokasi dana untuk menangani pandemi tidak perlu merasa cemas akan dijatuhi tuntutan karena dianggap menyebabkan kerugian negara. Lalu, pejabat tidak dapat dipersoalkan baik secara hukum perdata maupun pidana, selama langkah-langkah yang diambil berlandaskan niat baik.
Pemberian imunitas dilakukan karena beberapa faktor yang mendasarinya. Pertama, dalam situasi darurat, dibutuhkan respons yang cepat dan sesuai. Selain itu, undang-undang yang ada dianggap kurang memadai untuk menangani situasi darurat ini.
Ketika pejabat mengambil keputusan, mereka merasa cemas terhadap kemungkinan mendapat tekanan hukum apabila keputusan tersebut berujung tidak baik. Salah satu contoh yang bisa dijadikan acuan adalah insiden Bank Century, yang menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan akan implikasi hukum dari keputusan yang telah diambil.
Namun, pemberian imunitas tersebut menimbulkan pertanyaan serius terkait kepatuhan pada Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yang menjadi landasan utama dalam praktik pemerintahan yang efektif, seperti transparansi, akuntabilitas, dan kepedulian pada kepentingan publik.
Di Indonesia, AUPB diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Imunitas yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 mungkin membatasi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam memeriksa keputusan pejabat pemerintah. Hal ini dapat berakibat pada penurunan pengawasan tindakan pejabat serta menurunkan tingkat akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan.
Sebaliknya, di Amerika Serikat, imunitas pejabat pemerintah diatur dalam US Constitution, terutama Amandemen ke-11, yang memberikan perlindungan hukum kepada pemerintah federal dari tuntutan hukum oleh warga negara bagian. Pemberian imunitas ini berasal dari doktrin sovereign immunity yang bersumber dari sistem hukum common law Inggris. Doktrin ini berpendapat bahwa "raja tidak mungkin melakukan kesalahan", sehingga pemerintah tidak bisa diajukan tuntutan di pengadilan.
Seiring berjalannya waktu, doktrin sovereign immunity berkembang di dalam sistem hukum Amerika Serikat, yang kemudian menghasilkan dua jenis imunitas: qualified immunity dan absolute immunity. Qualified immunity diberikan kepada pejabat yang berwenang untuk menggunakan diskresi, asalkan mereka bertindak dengan itikad baik. Sementara itu, absolute immunity diberikan kepada lembaga legislatif, kehakiman, dan kepala negara tanpa terkecuali.
Sebagai contoh, prinsip imunitas di Amerika Serikat bisa terlihat dalam kasus Chisolm v. Pada tahun 1793, di Georgia, Mahkamah Agung memperluas cakupan wewenang peradilan untuk menangani perselisihan antara warga dengan pemerintah.