Saya dan sukses adalah hal yang berbeda. Saya bukan orang yang lahir dari rahim kesuksesan. Saya tahu itu berat ketika saya dan sukses berjalan berlawanan atau bahkan ketika saya berbalik arah dan mengejarnya, tetapi justru dia menarik kencang tali sepatunya dan kemudian berlari semakin jauh. Tapi saya tidak menyerah, walaupun saya tahu kami mempunyai nenek moyang yang berbeda. Saya ambil sepatu kesayangan saya, saya kejar dia tanpa henti. Namun jalan saya ternyata tak semulus yang saya bayangkan.
Ibu pernah berkata kalau pendahulu kami juga memilih jalan yang sama. Beliau juga sudah memperingatkan saya untuk hati-hati. Tapi memang dasar saya ini! Jiwa muda saya terlalu bergejolak, dan parahnya hal itu juga yang membuat saya memacu diri dalam kecepatan yang orang lain tak pernah bayangkan. DUK! Saya terjatuh karena sebuah batu. Sakit Ibu! Orang-orang diluar sana yang melihat pertandingan ini pun mentertawakan saya. Mereka tertawa dan bahkan ada yangmemarahi saya karena saya tidak mendengarkan perkataan mereka.
Ibu hati saya menangis. Kenapa sih mengejar sukses menjadi sesulit ini? Dan kenapa sih menjadi diri sendiri itu sulit? Mereka kan bukan saya, Ibu. Mereka tidak tahu apa-apa tentang apa yang saya lakukan, apapun tentang saya dan mimpi saya. Ibu memeluk saya.
Saya kembali berdiri tegap dan kemudian berlari. Belum sampai setengah perjalanan, saya bertemu dengan semak-semak belukar yang dengan kokohnya berdiri dijalanan saya. Sial! Runtuk saya. Saya tidak punya pilihan lain. Diluar sana -Orang yang meletakan semak tersebut- diam tanpa suara. Saya pun berteriak dengan lantang. Hey! Tolong pindahkan semak itu pada tempat yang semestinya. Tapi Orang itu malah diam. Kesal sekali rasanya hati ini. Saya tak punya pilihan lain. Sukses semakin berlari menjauh. Baiklah, saya ambil napas dalam-dalam, dan kemudian berlari melewati semak belukar ini.
Hap Hap Hap!
Langkah saya tegap namun hati ini bergetar melawan sakit. Kaki saya pun terluka. Sakit sekali. Setelah melewati semak-semak keparat itu, datanglah Ibu saya membawakan seperangkat kotak obat dan membalut luka saya. Ah ternyata! Orang tersebut mendengar dalam diam. Buktinya sekarang Orang itu mengirim Ibuku untuk mengobati lukaku.
Yosh! Semangat! Hati saya semakin bergelora setelah melewati semak tersebut. Hal ini benar-benar diluar perkiraan saya.
Sukses semakin berlari menjauh. Tapi saya tidak mau kalah.
Saya tahu kaki yang dibalut perban ini adalah cacat bagi saya. Lalu saya coba tengok kiri kanan. Ah! Ada seorang penonton yang ternyata memiliki kursi roda. Dia meminjamkannya pada saya. Hati saya tersenyum. Lagi-lagi Orang itu mendengar dalam diam.
Tapi menggunakan kursi roda ternyata tak mudah, ditambah lagi saya tak pernah belajar menggunakannya. Mau tidak mau saya menghabiskan waktu untuk belajar mempergunakannya. Kecepatan saya pun berkurang. Tapi sukses kelihatannya semakin dekat (dari sudut mata saya). Tak ayal sambil berjalan saya menemukan pemandangan yang indah. Pohon rindang dengan burung yang berkicauan diatasnya. Sungguh pemandangan yang luar biasa. Ini merupakan keadaan yang tidak mungkin saya temukan jika saya memaksakan diri saya untuk berlari cepat. Lagi-lagi buah kesabaran, Orang itu mendengar dalam diam.
Saya tidak tahu sampai kapan saya harus berlari lagi. Ini masih terlalu pagi untuk membayangkannya. Didepan sana masih ada ribuan kilometer lagi jalan yang harus saya lalui, dan juga ribuan meter perban yang saya perlukan ketika saya terjatuh. Tapi bukankah ini semua, segala kesakitan dan jerih payah ini hanya sementara?