Dalam mewujudkan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai hak dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, namun sumber daya keuangannya terbatas. Sebagian besar kabupaten dan kota sangat bergantung pada dana kompensasi yang diberikan oleh pemerintah pusat, seperti Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Sumber pendapatan lainnya adalah pendapatan organik lokal, yang juga terbatas. Jumlahnya karena ketiga sumber dana ini sebagian besar diserap untuk pengeluaran sehari-hari. Dengan kondisi keuangan seperti itu, tentu sulit bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan berbagai proyek pembangunan karena keterbatasan anggaran. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan berbagai terobosan dalam mencari sumber pembiayaan pembangunan agar berhasil melaksanakan otonomi daerah.Pinjaman masyarakat merupakan salah satu sumber pendanaan.
Pinjaman daerah tersebut dapat bersumber dari
1. Pemerintah;
2. Pemerintah Daerah lain;
3. Lembaga keuangan bank;
4. Lembaga keuangan bukan bank; dan
5. Masyarakat
Adanya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk menghimpun dana dalam rangka pembangunan dan pembangunan daerah (penggalangan dana). Penerbitan obligasi daerah sesuai dengan Pasal 57 UU yang mengatur secara rinci obligasi daerah sebagai sumber dana daerah.
Obligasi daerah merupakan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Penerbitan obligasi daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Dasar hukum penerbitan obligasi daerah, meliputi :
1. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;