Lihat ke Halaman Asli

Keistimewaan Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali

Diperbarui: 16 Oktober 2017   16:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pribadi

Bila dibandingkan dengan istana - istana kepresidenan yang berada di tengah kota besar yang sibuk atau di pinggir jalan raya yang ramai di Pulau Jawa, Istana Tampaksiring tampak istimewa. Ia bukan hanya terpencil sendiri di Pulau Bali, tapi juga seakan-akan mengawasi seluruh kedamaian lanskap pulau itu. Memandang ke arah selatan dari salah satu sudut Istana, akan tampaklah jalan yang raya yang menghubungkan pantai barat dengan Singaraja di pantai timur. Ke arah utara pada pagi hari cerah, terlihat Gunung Batur, dan sedikit ke arah timur, Gunung Agung menjulang.

Istana Tampaksiring istimewa karena ia adalah satu-satunya Istana yang dibangun pada masa kemerdekaan. Agaknya, Presiden Soekarno telah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan bentangan tanah di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar itu. Matahari yang terbit dari belakang Gunung Agung, Pura Tirta Empul dengan kolam pemandiannya, hamparan teras sawah nun di bawah sana, juga suara sayup-sayup tetabuhan gamelan yang dibawa desir angina - semua itu telah menarik hati Bung Karno sejak menjejakkan kaki di sana.

Bung Karno menggagas pendirian sebuah kediaman presiden di Tampaksiring karena dengan semakin eratnya perhubungan dengan dunia - Indonesia mulai menerima banyak tamu negara yang banyak pula di antaranya yang menyatakan minat untuk mengunjungi Bali.

Sang presiden memang piawai memilih tempat-tempat yang akan dipakainya sebagai rumah hunian atau rumah tetirah. Untuk menentukan lokasi tanah bagi rumah kediaman pribadinya di kawasan Batutulis, Bogor, misalnya, ia menggunakan helikopter untuk memilih hamparan tanah yang mempunyai hadapan terbaik ke arah Gunung Salak. Namun Bung Karno tidak lagi memerlukan helikopter pada saat memilih lokasi tapak di Tampaksiring itu sebagai tempat untuk membangun Istana Kepresidenan.

Dalam beberapa kali kunjungannya ke Bali sebelum 1955, ia sudah sering bermalam di rumah tetirah milik Raja Gianyar di Tampaksiring. Pada masa Raja Gianyar V dan VI, pesanggrahan itu banyak dimanfaatkan oleh para tamu asing, khususnya pejabat pemerintah Hindia - Belanda. Para orang tua di desa itu masih ingat bagaimana pesanggrahan itu tiba-tiba bersinar terang dengan cahaya lampu petromaks bila Bung Karno datang ke sana. Pada masa-masa awal kunjungannya ke Tampaksiring, selain ketiadaan listrik, Bung Karno juga masih menyaksikan betapa sulitnya orang memikul air mendaki lereng terjal untuk mencukupi kebutuhan di pesanggrahan.

Dari depan pesanggrahan itu, kolam pemandian Pura Tirta Empul hanya terpisahkan oleh tebing curam setinggi 50 meter. Dinding-dinding bukit seperti itulah yang barangkali merupakan asal nama Tampaksiring - dalam bahasa Bali berarti "telapak yang miring:' Menurut hikayat yang tercatat pada lontar Usana, Tampaksiring bermula dengan kisah Raja Mayadenawa yang sakti. Sifatnya yang angkara murka membuat Batara Indra mengirim balatentara untuk menangkapnya.

Mayadenawa pun lari ke hutan dengan memiringkan telapak kakinya agar tidak dikenali jejaknya. la juga menciptakan sumber air beracun yang menyebabkan kematian balatentara pengejamya. Batara Indra kemudian menciptakan mata air lain sebagai penawar racun, yang kemudian dikenal sebagai Tirta Empul - berarti air umbul-umbul - yang hingga kini dianggap sebagai tempat suci bagi umat Hindu Bali. Hikayat itu dilukiskan dalam relief batu paras yang menghiasi salah satu dinding Istana Tampaksiring.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline