Saya kembali lagi menulis di Kompasiana karena ingin mencari hiburan dan mengurangi tingkat ke-stress-an dengan cara menuangkan keresahan/ketakutan menikah dalam bentuk cerpen. Seperti dalam cerpen yang ini. Ada sedikit kelegaan setelah selesai menceritakannya ke dalam bentuk cerpen, meskipun kisah di dalamnya bukan kisah nyata. Berhubung Kompasiana hari ini kasih topik pilihan, ya bolehlah saya pakai untuk ajang curhat. Hehe.
Mama terus menuntut saya untuk segera menikah. Tapi saya selalu menolaknya karena merasa belum siap dan bisa sehingga takut menikah. Berbagai cara telah dilakukannya untuk membujukku, mulai dari cara sederhana sampai cara ekstrim. Cara yang paling ekstrim darinya adalah membuat PAUD. Katanya, sudah ingin punya cucu. Tidak berhenti sampai disitu, Ibu bahkan mengenalkan guru PAUDnya kepadaku. Sudah tiga kali dia melakukannya. Ya Tuhan tolong matikan aku. Hahaha.
Pernikahan itu bukan cuma siap, tapi juga harus bisa. Nikahnya siap, tapi mengarungi pernikahan bisa ga? Punya anak siap, tapi merawatnya bisa ga?Hidup berumah tangga siap, tapi menghargainya bisa ga? Pertanyaan-pertanyaan itu yang membuatku takut menikah, setidaknya untuk sekarang. Tapi mengabulkan permintaan Mama harus saya lakukan. Untuk itu saya harus menghilangkan ketakutan-katakutan terlebih dahulu sebelum melangkah kesana. Berikut adalah ketakutan-ketakutan yang sudah dan harus saya hilangkan.
1. Ketakutan Finansial
Ini masih menjadi faktor utama hancurnya rumah tangga. Cinta itu kata kerja. Artinya ya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Percuma punya cinta jika untuk makan dan sekolah anak saja, istrinya harus pusing mikir sana-sini. Bukan cuma itu, pengelolaan keuangan juga harus diperhatikan. Untungnya saya sudah bisa menghilangkan ketakutan ini. Ditambah lagi kemarin saya baca artikel ini jadi lumayanlah buat tambah bekal.
2. Ketakutan 'Tapi'
Ketakutan ini saya tuangkan dalam puisi ini. Mencintai dengan 'tapi', artinya bisa memahami pasangan. Saya masih takut untuk ini, meskipun kemarin saya sudah membaca artikel ini yang ditutup oleh penulis dengan kalimat manis, "Kita pun tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pencapaian." Dari situ saya belajar bahwa tidak perlu merubah seseorang, kita hanya perlu memahaminya.
3. Ketakutan Hilang Kebebasan
Ini ketakutan utama saya. Menikah berarti pola hidup berubah. Yang sebelumnya aku/kamu berubah menjadi kita. Harus berkomitmen, tambah objek perhatian, bagaimana nanti kalau sudah punya bayi terus tengah malam rewel. Hilanglah kebebasan saya. Adoooooooohhh aku belum bisa. Tapi untuk ketakutan ini, kemarin saya mendapat tamparan keras setelah membaca cerpen yang ditulis oleh mbak Dwinta.
Itulah keresahan/ketakutanku. Beruntung bagiku karena kembali lagi ke Kompasiana. Dia memberikan pelajaran yang tepat di waktu yang tepat bagiku. Thank ya K.