Lihat ke Halaman Asli

Dan Hujan

Diperbarui: 23 November 2020   00:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Dan Hujan kini turun lagi
 Dan sepi ini menuntun rindu
 Sembilu hati membelenggu 
 Dan rasa ini terpaku waktu 
 
 (Dan Hujan II - Gardika Gigih)

Kala itu, langit di Kota Bandung terlukis oleh awan-awan kelabu, diiringi dengan sambaran petir menggerumuh, dan terpadati oleh manusia-manusia berlalu-lalang.

Terlepas dari betapa gelapnya awan-awan itu, Aku tetap menarik langkah menuju ke rumah meski terburu-buru. Emosiku sudah cukup terkuras dengan kejadian-kejadian hari ini. Aku menggeram dan berjalan lebih cepat, berharap tatkala aku berhenti, telah ada kasur empuk dan nyaman menantiku.

Akan tetapi, nampaknya semua tidak selalu berjalan sesuai rencana. Tiga langkah setelah aku mengatakan itu,

Tes. Setitik air hujan menetes di atas kepalaku. Sial. Pikirku.

Tes. Tes. Tes.

Derai gerimis mulai terdengar, memaksa orang-orang mencari tempat untuk meneduh, tak terkecuali aku.

Aku terus berlari hingga tiba di sebuah gerai kecil di pinggir kota. Tidak ada siapa-siapa disitu selain  seorang pria jangkung berkemeja putih. Aku hanya bisa menghela napas panjang seraya berusaha mengeringkan tubuhku yang basah kuyup dengan tisu. Awan kelabu dan hujan memang tidak pernah membawa apapun selain kekacauan. Pikirku. 

Suasana diantara kami begitu hening, hanya dihiasi oleh suara rintikan hujan dan petir yang menggelegar. 

Hujan di luar sana semakin beringas, kini disertai angin kencang yang menggerisik. Kusandarkan tubuhku di dinding, menatap kosong ke arah jalanan, memikirkan bagaimana caranya aku pulang, sebelum mendengar pria di sebelahku berbicara,

"Musim hujan adalah musim terbaik. Bukankah begitu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline