Lihat ke Halaman Asli

Kopaja 502

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota ini tidak punya harapan. Aku menegaskan kalimat itu di dalam hati. Harapan jelas berlaku untuk segala cita-cita positif. Dan kota ini tidak memiliki itu. Sudah setengah jam lebih dari sejak aku naik bus ini tetapi belum separuh perjalanan terlewati.

Aku bersama puluhan penumpang bus disini masih terjebak dalam keruwetan yang sama sejak setengah jam lebih tadi. Bus tidak banyak menurunkan orang tetapi terus-terusan menjejal masuk para penumpang putus asa yang ingin pulang cepat.

Keringatku sudah terjun bebas dari dahi sementara punggungku seperti ditempeli kain pel yang baru diperas. Setengah basah dan lengket. Ini bukan karena panas matahari sebab sang bintang kota tanpa harapan ini sudah mulai menutup separuh matanya.

Keringat ini kegerahan ingin keluar lantaran terdesak-desak puluhan orang di bus yang saling berdempetan. Sementara kaca bus hanya memberikan ruang seadanya untuk masuk udara.

Segala umpatan sudah aku layangkan di dalam hati, sebuah surat pedas untuk kota ini yang membuat keringatku mengucur lebih deras. Untungnya aku masih dapat tempat duduk. Ini pun berkat saling sikut ketika dua orang penumpang turun beberapa waktu lalu. Sampai sekarang aku masih bertahan di kursi plastik ini berkat moralitasku yang ikut terjatuh bersama dua penumpang yang turun tadi.

Aku bersama puluhan penumpang yang tampak seperti mayat hidup dengan mata menggantung ini masih terayun-ayun kasar oleh bus tidak berperasaan ini. Mungkin bukan salah bus ini juga karena kalau diperhatikan dia sama merintihnya dengan kami yang terus mengaduk-aduk perutnya.

Kalau disandingkan, tidak ada yang lebih menawan diantara kami dan bus ini. Aroma kami sama dengan bau kentut bus ini. Lebih parah malah karena asap knalpot kendaraan umum lain dan motor beradu cepat menempel di tubuh kami.

Benarkan kalau kami tidak lebih menawan dibandingkan bus ini. Di tengah puluhan orang yang juga tertipu pesona kota ini, aku merasa menemukan koloni baru. Sebuah komunitas dengan penampilan dan rasa yang sama. Kota ini memang betul-betul tidak punya harapan. Pesimismenya bahkan menulari kami di dalam bus berangka keropos ini.

Kami tidak lagi berharap pada angin, jalanan, atau sofa empuk. Kami sampai lupa apa itu kenyamanan, bagaimana bentuk dan rasanya. Dan...apakah dia bisa bernyanyi? Aku lupa. Kami seperti terhipnotis pada kemurungan yang menghanyutkan. Tidak diberi kesempatan memikirkan kapan bisa menemukan ujung dari benang kusut ini. Hanya ada pasrah sambil melihat waktu melenggang ringan karena tidak dititipi harapan bodoh agar berputar lebih cepat.

Aku mengamati pemandangan di sepanjang perjalanan. Mereka sama kucelnya dengan kami. Muka-muka terbakar matahari, persis seperti habis dilulur oli. Sementara pakaian mereka seperti dicuci pakai debu. Sampai busku berlalu, aku terus memandangi mereka. Kami yang sama-sama tertipu oleh wangi kota ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline