"Anakku, apa yang sedang terjadi dalam dirimu saat ini adalah sebuah penyakit yang sebenarnya berasal dari dirimu sendiri yang tidak pernah kau sadari. Kegalauanmu, kegelisahanmu, kekawatiranmu, dan tentu saja ketakutanmu dalam menghadapi kejadian-kejadian yang akan kau hadapi telah menghabiskan setengah dari energi yang kau miliki. Bayangan kekelaman dan kegelapan kehidupan yang pernah kau lalui selalu menghantui langkahmu. Dan kepalamu membatangkan bahwa kehidupanmu selanjutnya akan selalu gelap dan kelam seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Tidak ada yang salah. Kami, para sesepuh mengerti dan memahami betapa tidak mudahnya bagian-bagian kehidupan yang telah kau lewati, sendiri dan penuh dengan duka lara. Tetapi kita sama-sama tahu bahwa kita tidak boleh berhenti sampai di sini, berhenti di tengah jalan, di keadaan negeri dalam persimpangan. Apapun yang terjadi, perjalanan dan perjuangan bathin negeri harus dilanjutkan. Yakinlah bahwa bayangan akan kejadian ke depan itu lebih menakutkan daripada saat engkau menghadapinya. Eh bukan begitu, dink."
Ki Juru tiba-tiba menghentikan pituturnya, telapak tangannya melambai seakan ingin menghentikan sesuatu.
"Apa yang kau hadapi itu tidak pernah mudah, dan memang akan selalu lebih berat, lebih menakutkan, akan lebih susah dari sebelumnya, itu pasti. Hahahaha, bohong kalau aku bilang itu akan lebih mudah dari sebelumnya. Yang benar itu begini, Nduk, sia-sia saja engkau membuang-buang energi untuk membayangkan apa yang akan terjadi, yang ada adalah simpan dan gunakan energimu untuk menghadapi kejadiannya, bukan untuk membayangkan. Jika orang bilang bayanganmu lebih menakutkan daripada kejadian yang kau hadapi, maka untukmu kalimat ini diganti menjadi begini, percayalah bahwa kenyataan yang akan kau hadapi pasti berlipat-lipat lebih menakutkan daripada bayanganmu. Kenyataan yang akan kau hadapi ke depan lebih mengerikan dan lebih serem daripada yang kau bayangkan. Hahhahah, modar ra sliramu, Nduk!".
Ki Juru mengatakan dengan sangat tegas, jelas sekali bahwa tidak ada yang main-main dari seluruh rangkaian peristiwa demi peristiwa yang selalu terjadi. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Wajahnya berbinar meyakinkan, menegaskan bahwa itulah kenyataan yang harus dihadapi. Yang membedakan kami dengan orang-orang biasa adalah semangat kami, bahwa Ki Juru mengatakan semua itu sambil tertawa. Iya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, hadapi, kesedihan dan ketakutan hanya akan memperberat situasi diri, tetapi dengan jiwa penuh semangat akan membuat kita lebih mudah menghadapi semua yang akan terjadi. "Anakku, wes tho, semua ini tergantung dari keyakinan hatimu, tergantung dari kepasrahan dan kekuatan hatimu kepada Yang Aweh Urip."
"Ki Juru, bagaimana aku bisa bekerja dengan baik jika badan dan pikiranku masih merasa seperti ini, lemah tak berdaya, kehabisan energi. Jangankan berperang, bertindak saja aku merasa sangat lemah. Aku merasa tidak mampu melakukan hal-hal sederhana untuk diriku sendiri, bagaimana berpikir untuk orang lain? Bagaimana mungkin aku keluar dari semua ini?" Aku benar-benar hampir putus asa dengan semua hal yang menimpa diriku, benar-benar sangat lemah.
Sesepuh mengajakku pergi ke tempat yang lebih tinggi, semakin tinggi, dari sana kami bisa bersama-sama melihat diriku lebih jelas. Aku terus berusaha melihat ke dalam diriku, dan aku masih tetap saja tidak bisa menemukan diriku sendiri. Aku justru melihat adanya tumpukan-tumpukan simbol-simbol kemelut yang demikian besar, demikian banyak.
Aku hanya mampu melihat mahluk-mahluk dan situasi-situasi yang selalu mengambil energiku untuk kepentingan mereka. Semua berpesta pora sendiri, tanpa mempedulikan nasib diri dan keadaanku. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana mengatasi semua ini, aku tidak lagi harus melakukan apa lagi untuk bisa mengatasi kekadaan ini. Aku selalu merasa lemah dan sakit-sakitan, aku selalu merasa tak berdaya dan kekurangan energi, kalah dan jatuh setelah sekian lama dalam perjuangan bathin negeri. Perjalanan sedikit demi sedikit dalam batas kemampuanku, tindakan tanpa acuan ilmu, tanpa guru, tanpa acuan yang jelas alias semuanya ngawur-wur, tanpa dasar, dan aku hanya melakukannya tanpa panduan yang baku.
"Lalu dimanakah diriku?"
Terdengar suara tersedak, tertahan, berikutnya disusul terdengar suara batuk mendadak. Aku menoleh ke belakang memandang para sesepuh, dan aku menemui wajah menahan senyum, menahan tawa, dengan mata yang setengah mendeliik. Tadinya mereka berharap aku tidak melihat mereka, mereka sudah berusaha menahan setengah mati agar tidak bersuara, tetapi apa daya, semuanya tidak bisa ditahan lagi. Akhirnya tumpah sudah, mereka tertawa keras tanpa ditahan lagi, sebagian lagi hanya tersenyum dengan kulum geli setengah mati.
Aku bingung, "Apa yang terjadi, Ki Juru, katakan padaku! Di mana lucunya, aku tidak mengerti. Kenapa kalian mentertawakan diriku di saat aku sedang menanggung derita yang seperti ini, sakit dan sedih, ngilu dan pilu?" Aku tidak kuasa menahan kesal yang demikian dalam. Tidak seperti biasanya sesepuh-sesepuh itu seperti ini.