Membaca kembali tulisan-tulisan lama tentang pajak berikut jejak komentar yang ditinggalkan di setiap lapak, ada beberapa catatan yang dapat saya baca bahwa sampai saat ini, wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan bisa diibaratkan seperti minum kopi basi, tidak enak. Masih mendingan orang minum jamu, pahit tetapi akhirnya bisa menyembuhkan. Pahit berakhir nikmat. Tetapi tidak demikian dengan membayar pajak.
Petugas pajak boleh ngomong apa saja, betapa bermanfaatnya pajak buat masyarakat, buat negara, sebagai sumber dana kelangsungan hidup bernegara, sebagai jantung kehidupan negeri ini. Faktanya, pajak saat ini masih sebagai tulang punggung penerimaan negara, di pemerintahan pusat, di pemerintahan daerah, potensi pajak makin gali, karena lebih sulit mencari sumber penerimaan lainnya.
Lalu bagaimana sudut pandang wajib pajak terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan dijalankan masih sangat dengan terpaksa, sebagaimana perintah undang-undang. Dari komentar yang tertinggal itu saya bisa menangkap bagaimana anggapan negatif kepada pajak. Koruplah, Gayuslah, tidak percaya pada penggunaan dana pajak. Keluhan berikutnya adalah ribet dan repotnya berurusan dengan kantor pajak. Sering terjadi perbedaan penafsiran peraturan oleh petugas pajak yang satu dengan yang lain, pemberian solusi yang berbeda-beda atas sebuah masalahyang sama antara petugas yang satu dengan petugas yang lain. Wajib pajak seringkali tidak bisa menyelesaikan masalah dengan sekali datang, terpaksa harus bolak-balik ke kantor pajak, tidak bisa satu hari selesai.
Hal tersebut di atas adalah awal rangkaian yang membuat kesadaran pajak masyarakat masih sangat kurang. Kesadaran wajib pajak dibangun dari pengetahuan dasar tentang pajak dan manfaat apa yang diperoleh oleh wajib pajak. Saat ini bukan hanya wajib pajak yang menerima manfaat, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat kaya paling banyak menggunakan nilai lebih dari pajak yang mereka bayar, karena hanya mereka yang menggunakan fasilitas-fasilitas mewah publik yang tersedia. Mulai dari bandara, pelabuhan, dan jalan raya. Masyarakat kecil juga menikmati fasilitas berupa subsidi. Tetapi pengetahuan akan manfaat nilai lebih dari adanya pajak ini belum tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.
Tetap saja si kaya tidak mungkin membangun jalan beratus-ratus kilometer panjangnya, atau membangun rumah sakit yang ada di daerah lain yang dia kunjungi. Secara pribadi maka warga negara menikmati jauh lebih banyak dari yang mereka bayarkan ke negara, jika kita menghitung dan berapa banyak yang didapatkan. Pajak yang terakumulasi menjadi fasilitas milik bersama, yang bisa digunakan bersama-sama padahal tujuan kita adalah tujuan pribadi. Pesan yang belum secara jelas diterima oleh masyarakat.
Saya yakin saat ini, masyarakat banyak yang belum pernah ke kantor pajak, apalagi memahami secara persis jenis-jenis pajak yang ada, yaitu pajak pusat dan daerah. Mereka hanya tahu membayar pajak adalah hal yang harus mereka penuhi, jika tidak dipenuhi akan dikenakan sanksi, kewajiban yang dipenuhi secara formalitas, belum benar secara material. Jujur, memang banyak transaksi yang bermuatan pajak. Mulai dari jual beli tanah, membeli makanan di restoran, membeli produk barang dan jasa, pajak penghasilan, pajak kendaraan bermotor, semua mempunyai bagian sendiri-sendiri yang menjadi beban dari wajib pajak, entah itu di pusat maupun di daerah.
Kembali ke permasalahan di pajak pusat, wajib pajak masih banyak menemui kesulitan tentang pemahaman ketentuan perpajakan, penerapan dan penghitungannya yang selalu berganti-ganti dengan berbagai macam rupa transaksi yang harus dikenai pajak. Berikutnya adalah menuangkan ke dalam formulir-formulir yang tersedia di depan loket yang bertumpuk-tumpuk, berlembar-lembar, dengan berbagai macam jenis formulir. Ibarat anak SD mau mengerjakan ujian, gurunya saja belum tentu bisa mengerjakannya dengan benar. Itu adalah analogi yang pas untuk menggambarkan betapa tidak mudahnya memahami pajak, menghitung, menyetor dan melaporkannya. Katanya, pyuusing kalau sudah bicara masalah pajak. Hahahaa.
Jadi siapakah yang harus bertanggung jawab atas situasi dan kondisi ini? Pajak, wajib pajak, masyarakat, atau negara? Jika pertanyaan ini dilemparkan kepada salah satu pihak saja, maka masing-masing akan menjawab bukan tanggung jawabnya, lalu bagaimana? Pajak adalah tanggung jawab bersama, dimana masyarakat sangat membutuhkan hasilnya, salah satunya adalah fasilitas umum yang dimiliki dan digunakan bersama-sama untuk tujuan pribadinya. Masyarakat miskin membutuhkan untuk subsidi sosialnya. Demikian juga negara sangat membutuhkan peran serta wajib pajak untuk melaksanakan tanggung jawabnya kepada warga negaranya. Sebuah simbiosis mutualisme.
Seperti yang bersama kita tahu, bahwa pajak telah melakukan reformasi besar-besaran untuk menjadi sebuah institusi bersih. Mereka berusaha memberikan pelayanan prima kepada wajib pajaknya. Walaupun kita masih sering melihat kedodoran di sana-sini, selalu ada kurang dan lebihnya, selalu ada ruang untuk pembenahan. Di kantor pajak adalah hal yang biasa melihat wajib pajak marah-marah, emosi, karena tidak paham apa yang harus dilakukannya. Begitu diterangkan tentang peraturannya malah tambah marah lagi, karena masih belum mengerti juga. Ada beberapa penyebab, bisa jadi wajib pajak yang tidak paham, atau petugas pajak yang belum menerangkan dengan baik. Sungguh menurut saya sendiri pajak itu memang tidak sederhana.
Awal memahami pajak adalah memahami ilmu ekonomi akuntasi lengkap dengan bahasanya. Penggunaan bahasa pajak adalah upgrade bahasa akuntansi dengan istilah-istilah khusus. Saya berpikir, gimana ya kalau dibalik menjadi begini, transaksi-transaksi memang terkait dengan transaksi ekonomi dan akuntansi, tetapi bahasa atau istilah pajak yang digunakan menggunakan bahasa yang lebih disederhanakan yang mendekati istilah sehari-hari, mungkin akan sedikit lebih mudah dimengerti. Kaya syusyah lagi buat yang nyusun, tambah pyusing penyusun aturannya. Begitulah adanya, fakta, nyata di lapangan. Beginilah situasi yang sesungguhnya.
Sebuah pembenahan diri dapat dilakukan apabila dari dirinya muncul kesadaran bahwa memang ada yang salah, memang ada yang belum pas di dalam dirinya. Mau bercermin, dan tentu saja adanya pengakuan bahwa ada yang mesti harus dibenahi. Kesadaran itu akan membuat seseorang melakukan evaluasi, koreksi diri, dengan melihat permasalahan yang ada. Melihat kembali dan selanjutnya memperbaiki diri berawal dari kesadaran diri.