Ilustrasi - kebijakan penganggaran (Kompas)
Pak Jokowi, hari Minggu, 10 Januari 2016, kita bersalaman dua kali. Wajah Bapak dingin, tanpa ekspresi. Bisa jadi karena memang belum mengenal saya, tetapi saya bisa membaca dengan jelas sebuah kelelahan, banyaknya hal yang harus dipikirkan terkait dengan keadaan negara kita yang berantakan, tak tertata. Bapak memang hebat, mampu meredam semua itu. Negara sebelumnya sangat tidak terurus, yang tersisa hanya bekas-bekas penjajahan oleh bangsanya sendiri.
Hari itu saya datang sebagai tamu undangan, untuk menyaksikan sambutan Bapak yang menyatakan bahwa, bekas perampokan penjajah dari negerinya sendiri. Saya datang sebagai tamu undangan, sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang peduli pada negeri ini.
Dalam pidato yang Bapak sampaikan pada hari kemaren di Rakernas PDIP kemayoran, 11 Januari 2016, dengan bangganya Bapak menyampaikan hal-hal yang sudah dilaksanakan terkait pembangunan infrastruktur di beberapa wilayah yang selama ini belum tersentuh pembangunan. Mulai dari pembangunan tidak berkelanjutan, yang mangkrak walaupun sudah di groundbreaking. Sisa-sisa pembangunan tanpa design, sporadis, yang tidak sistematis. Proyek-proyek yang Bapak paparkan nilainya sangat fantastis, mulai dari pembangunan di perbatasan Timur Leste, Kalimantan, dan Papua Nugini.
Saya terharu Bapak, betapa Bapak berusaha memberikan landasan pembangunan negeri ini, bukan hanya sekedar bangun-bangun tapi tidak jelas untuk apa dan mengapa harus dibangun. Bukan tipe pemimpin jabatan untuk proyek, dan proyek untuk jabatan. Pemimpin yang memikirkan negaranya dan bukan memikirkan dirinya. Pak Jokowi, saya bisa melihat, betapa bangganya Bapak dengan semua yang sudah bisa Bapak lakukan.
Bagaimana Bapak mengalihkan Anggaran Belanja Negara dari sektor konsumsi menjadi sektor produksi. Ini adalah salah satu hal yang disampaikan oleh tim sukses Bapak, walaupun dalam pemahaman selanjutnya, seharusnya bukan hanya kebijakan peruntukan anggarannya, tetapi juga membentuk pola pikir masyarakatnya yang seharusnya tidak hanya berpikir konsumtif atas nama mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi harus dibalik menumbuhkan budaya berinvestasi, bagaimana berproduksi, bagaimana menabung. Sebuah sisi lainnya dari cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus memperbaiki sikap hidup manusia agara sesuai dengan ajaran spiritual agama dan isme, bahwa hidup hemat adalah salah satu nilai yang harus ditanamkan. Negara menjadi pemicu dan menciptakan budaya untuk mendidik manusia menjadi lebih baik, dan bukan mendidik konsumtif yang cenderung merusak menuju masyarakat hedoisme.
Terlalu klise saya menyampaikan bahwa ada masalah besar yang sedang kita hadapi terkait dengan keuangan negara. Saat terjadi penggeseran sumber penerimaan negara dari sumber daya alam kepada pajak, adalah sebuah tantangan besar. Tetapi tantangan besar ini saat ini belum mampu diselesaikan oleh negeri ini, dan sebagaimana saya sangat pahami bahwa institusi pajak ini bukan hanya dipolitisir, sehingga tidak bisa berdiri sendiri, tetapi juga ada yang menginginkan tetap berada di ketiaknya, sampai kapanpun. Pergantian pemimpin selalu menjadi cara untuk menunda dan menunda sesuatu yang seharusnya sudah berubah dari dahulu pada tahun 2004.
Hal yang sering disampaikan tentang ancaman dalam kehidupan bernegara adalah Proxy War, dimana sebuah negara diserang pada ketahanan pangan, ketahanan energi. Sedang saya melihat saat ini kita berusaha dijatuhkan dari sisi keuangan negara. Mungkin bisa jadi saya salah, tetapi mata hati saya mengatakan begitu. Entah karena pemimpin negara kita sebelumnya yang kurang memahami ini, atau bagaimana kita selalu digiring kepada sebuah keputusan-keputusan dalam menyelesaikan masalah akhirnya selalu menimbulkan masalah kembali.
Misalnya, ketika negara menutup defisit anggaran dengan hutang yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hutang yang akan menjadi beban untuk generasi berikutnya. Masih ingatkah IMF menjadi penasehat ekonomi kita, dan akhirnya malah terjadi krisis, bukan mengobati, tetapi menghancurkan. Lagi-lagi kebijakan yang salah arah.
Bukankah sebuah rumah tangga yang kuat adalah ketika dia tidak terikat pada hutang, dimana mampu menentukan langkahnya, jika didalam anggaran rumah tangganya terdapat nilai lebih, sehingga bisa melakukan investasi dan tabungan. Dan untuk menyelesaikan hal itu adalah dengan berhemat. Hal yang harus disampaikan kepada para politisi dan seluruh pejabat-pejabat kita, jangan hanya pandai membuat program, yang jika dilihat maka ujung-ujungnya proyek. Misalnya, simulator SIM, atau yang sekarang, IT di Pajak, bela negara. Bahkan proyek listrik beribu-ribu watt yang akhirnya dikepret karena sebagian orang memahami bahwa proyek itu tidak dibuka untuk umum, tetapi hanya diberikan kepada kelompok tertentu, yang membuat orang yang tidak kebagian naik darah.
Negara kita sakit, iya Pak. Negara kita mau dihancurkan, saya juga sangat mengerti. Yang harus kita waspadai adalah dimanakah penyakitnya, dan darimanakah kita akan dihancurkan. Secara energy dan pangan, Bapak sedang membenahi. Tetapi ada satu bagian yang menurut saya belum bisa bagus dan maksimal, yaitu keuangan negara. Bahwa kebijakan anggaran tidak boleh bersayap yang akan bias adalah salah satu dari penghematan uang negara. Tetapi selanjutnya adalah penekanan pada hemat penggunaan anggaran untuk sesuatu program yang tidak jelas. Lebih baik tidak terserap daripada programnya hanya sekedar untuk meningkatkan besarnya serapan. Perlunya penekanan pada penyerapan anggaran kepada program yang efisien dan efektif untuk mencapai sasaran.