Apa kabar Badan Penerimaan Pajak? Rasanya Direktorat Jenderal Pajak menjadi sebuah badan yang berkoordinasi langsung dibawah presiden hanyalah mimpi-mimpi panjang yang tetap jauh dari kenyataan. Dari tahun 2004 gagasan ini sudah dicanangkan, dan dari tahun ke tahun itu pula, pajak menjadi badan tetaplah belum bisa diwujudkan. Masih ingat cerita dari pelaku sejarah, bahwa draft RPP sudah ada di sekretariat kabinet jaman Presiden Megawati. Beberapa hal sudah disetujui oleh Men PAN, perlu adanya perubahan mendasar struktur organisasi di Direktorat Jenderal Pajak.
Bahkan Jokowi, saat kampanye pilpres tahun 2014 telah menyetujui untuk memisahkan fungsi penerimaan dan pengeluaran negara dengan membentuk badan penerimaan negara. Sebagai bentuk pelaksanaan fungsi manajemen, terkait dengan control dan efektifitas pengelolannya. Hal ini penulis ingat betul, karena beberapa substansi yang disampaikan Jokowi adalah usulan penulis. Usulan disampaikan melalui email kepada tim sukses ekonomi Jokowi. Beberapa catatan berikutnya di dalam catatan yang diusulkan adalah perlunya dukungan poitis dan adanya cek and balance transaksi dengan pembatasan jumlah transaksi tunai.
Sebagai tindak lanjut untuk mewujudkan janji Jokowi tersebut, Jokowi telah menginstruksikan Kementerian Keuangan untuk melakukan pembenahan secara formal mengenai bentuk organisasi Direktorat Jenderal Pajak dan selanjutnya menjadi Badan Penerimaan Pajak (BPP). Tetapi situasi di DJP dan di Kementerian Keuangan dalam pertemuan-pertemuan yang ada tidak pernah memunculkan DJP untuk menjadi berdiri sendiri, tetapi selalu dimunculkan kata berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. Lagi-lagi DJP hanya diberi mimpi-mimpi karena pembentukan pajak menjadi badan masih dimundurkan lagi dan akan dilakukan pada tahun 2018.
Sudah selayaknya negara (Jokowi) belajar dari pengalaman penerimaan negara pada tahun 2015. Dimana pencapaian penerimaan pajak terseok-seok. Penyusunan target yang terlalu tinggi. Beberapa landasan teori yang digunakan dalam menyusun target mulai dari tax ratio, PDB yang masih simpang siur. Artinya angka-angka yang menjadi landasan masih sangat tidak jelas. Asal yang tidak jelas, maka akan menghasilkan hal yang jelas-jelas tidak jelas. Situasi rawan dipolitisir dan mudah menimbulkan kegaduhan. Adanya ancaman defisit 3%, sulitnya mewujudkan kemandirian sesuai dengan amanah trisakti. Mewujudkan trisakti dalam kehidupan bernegara sebagai baiat Jokowi saat sebelum dipilih menjadi capres, dan bukan nawacita. Tidakkah Jokowi belajar atas kejadian sulit di tahun 2015.
Terbatasnya pemahaman pemimpin dan pengambil kebijakan tentang teknis pelaksanaan perpajakan membuat keputusan yang dibuat banyak yang ambigu dan kontradiktif. Pajak yang demikian besar, baik institusi maupun peranannya akhirnya hanya menjadi pion dan tetap dikerdilkan. Solusi yang diberikan dan dijalankan tidak menyentuh akar dasar permasalahan pajak, yaitu data transaksi dan kesadaran wajib pajak. Yang terjadi adalah berlomba-lomba jualan program dan pencitraan, tanpa pernah melakukan efektifitas pelaksanaannya. Akhirnya tumpang tindih kebijakan yang malah akan menggerus potensi penerimaan pajak dalam jangka panjang.
Negara harus mengakui bahwa NKRI ini masih ada karena besarnya kontribusi pajak dalam pelaksanaan penyelenggaraan kehidupan bernegara. Kesadaran pajak hanya sekedar slogan, ajakan membayar pajak hanyalah sekedar iklan lewat. Faktanya mengetuk pintu nurani wajib pajak untuk membayar pajak adalah sebuah perjuangan extra setengah memaksa atas nama undang-undang, walaupun kadang-kadang tetap harus dipaksa dengan pemeriksaan.
Perlunya DJP dalam memposisikan dan diposisikan. Memahami dan dipahami oleh pihak pemangku kepentingan. Jika menginginkan perubahan janganlah berharap dari pihak lain untuk merubahnya, maka sudah seharusnya pajak memikirkan dirinya sendiri. Bukan semata-mata karena alasan picik dan sempit untuk sekedar meningkatkan penghasilan atau memperoleh jabatan, tetapi karena untuk kepentingan negara dan bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Bukan juga untuk ikut bermain dalam pusaran kotornya politik pragmatisme. Licik, kotor dan jahat kehidupan politik adalah sebuah kenyataan yang dihadapi dengan cerdas dan cerdik. Pajak telah memulai menjadi institusi bersih, maka pekerjaan berikutnya adalah mempertahankan untuk tetap bersih. Walaupun dalam situasi sekarang ini , institusi yang hanya bersih sendiri malah jadi bulan-bulanan, kadang-kadang malah seperti menjadi pecudang.
Memahami posisi tawar yang tinggi, agar kita tidak hanya menjadi alat mainan politik dengan membangun sikap integritas untuk sebuah harga diri dan martabat. Membuat tim yang solid, bersatu dalam satu frekuensi, melakukan persaingan secara sehat. Jika DJP bisa demikian maka DJP akan mempunyai pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Siap menghadapi segala rintangan dan hambatan apapun.
Akankah negara memilih jalan keluar dengan hutang secara terus menerus untuk menutup defisit anggarannya, menyusahkan anak cucu dan menjadikan negara tidak bisa independen. Sedang di depan mata masih bisa memperkuat DJP dengan memberikan kapasitas dan kewenangan. Dengan segala hal yang masih sangat terbatas saja DJP bisa memberikan sumbangsihnya untuk negara dengan luar biasa, mungkin dengan dilakukan pembenahan secara organisasi tanpa pembatasan dan pemasungan yang saat ini terjadi, DJP bisa melakukan fungsi penerimaan negara dengan tetap mengedepankan pelayanan dan kepuasan para stakeholder terutama Wajib Pajak.
Mari kita menguatkan diri kita dalam sebuah institusi untuk bisa bergerak maju dan melangkah. Menerobos pintu-pintu yang menghalangi untuk sebuah perjalanan panjang menjadi sebuah institusi yang mandiri.