Lihat ke Halaman Asli

Metik Marsiya

TERVERIFIKASI

Menembus Batas Ruang dan Waktu

Perlukah Kita Belajar Penerimaan Pajak ke AS?

Diperbarui: 20 November 2015   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 Sebelum Bicara Masalah Pajak, Harus Melihat Faktanya 

Nanti dulu tho pak, jika pemerintah kita belajar dari Amerika Serikat soal penerimaan pajak, apakah dapat dianggap mampu menyelesaikan masalah yang saat ini kita hadapi. Tidakkah kita belajar dari pengalaman, bahwa studi banding ke luar negeri oleh para anggota dewan dan para pejabat negara ini sudah banyak dilakukan di dalam berbagai bidang, namun yang kita dapatkan adalah sebuah kontroversi dan bukan jalan keluar. Bahkan saya pernah diskusi dengan seorang kepala dinas di Kulon Progo yang baru saja pulang dari Thailand dan menyampaikan seperti ini kepada saya, “kenapa mbak, negeri kita ini jauh lebih kaya, sementara di luar negeri tidak sekaya kita, tapi kita tidak bisa mengadopsi semuanya dengan baik”.

Demikian juga masalah-masalah yang lain, termasuk pajak. Yang terlihat adalah kulitnya, hasilnya, mungkin juga sedikit prosesnya. Tetapi melupakan hal yang paling utama, dasar dari semua masalah yaitu budaya manusia Indonesia.  

Jadi kalau mau belajar ke AS, boleh-boleh saja, tetapi menurut saya itu bukan cara untuk menyelesaikan masalah, dan pasti tidak akan selesai.

Masalah-masalah di negeri ini, menurut saya bagaikan lingkaran setan yang sudah demikian membelenggu. Mencari solusi, berarti harus mengurai dari akar permasalahannya, memetakan dan merunutkannya. Sayangnya para pengambil kebijakan ini lebih suka hal-hal yang berbau instan. Atau bisa jadi karena memang terlalu pinter sehingga semuanya dibuat rumit dengan bahasa sulit, tidak terbiasa berpikir sederhana yang mencakup semua sisi dengan sama jelasnya, dengan sudut pandang yang genep, seimbang. 

Karakter Manusia Indonesia, Karakter Wajib Pajak

Mochtar Lubis pernah menyampaikan bahwa sifat manusia Indonesia diantaranya adalah hipokrit alias munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, tidak hemat, cepat cemburu dan dengki, tukang tiru dan plagiat. Kualitas manusia Indonesia ini juga bisa dicerminkan dalam sikap Wajib Pajak di Indonesia, keadaannya adalah seperti berikut ini.

Ada yang tidak tahu pajak, ada juga yang tidak sadar pajak, ada yang tidak tahu pajak dan tidak sadar pajak, ada yang tahu pajak tapi tidak sadar, ada yang sadar tapi masih belum benar.

Ada yang mau dan sadar tapi karena menganggap  ribet administrasinya akhirnya tidak mau, ada yang mau dan sadar tapi setelah dihitung-hitung ternyata bayar pajaknya besar, dan akhirnya menjadi tidak mau.

Wajib Pajak ada yang tidak lapor SPT, ada lapor SPT tapi tidak bayar, bayar pajak dan lapor SPT tapi tidak benar. Tidak benarnya pakai sekali, parah. Ada yang sedang-sedang saja, ada yang baik-baik saja (berlaku untuk wajib pajak yang sudah dipotong/ dipungut oleh pihak ketiga, terpaksa). Membayar besar bukan berarti sadar apalagi benar , kebenaran dalam pajak adalah sebuah mimpi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline