Lihat ke Halaman Asli

Meti Irmayanti

senang membaca, baru belajar menulis

Semeru, Rumini, dan Arti Cinta Anak kepada Orangtua

Diperbarui: 11 Desember 2021   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musibah meletusnya gunung Semeru menghadirkan begitu banyak kisah pilu, tidak saja bagi mereka yang menjadi korban, tetapi juga bagi kita yang menyaksikan atau yang mengetahui terjadinya musibah melalui kabar dan berita yang merebak.

Salah satu yang mengundang banyak simpati dan duka cita yang mendalam adalah kisah Rumini yang memilih menghadapi maut demi menemani sang Ibunda yang sudah sepuh dan tak lagi mampu untuk pergi menyelamatkan diri.

Andai saja Rumini tidak tinggal menemani Ibundanya dan memilih ikut lari menyelamatkan diri, meninggalkan Ibunya sendiri menghadapi terjangan awan panas Semeru maka kita pun tidak mempunyai cerita yang mengharu biru yang mengingatkan kita betapa cinta kepada Orang tua adalah melebihi daripada cinta terhadap diri sendiri.

Andai saja ibunya mendesak Rumini meninggalkannya saja di tengah kepungan awan panas Semeru belum tentu pula Rumini mau melakukannya, meskipun permintaan Ibunya itu dimaksudkan agar puterinya masih bisa melanjutkan kehidupannya menjadikan anak dan cucunya sebagai generasi yang peduli untuk kemanusian yang lebih luas daripada harus meninggal bersama dengan saling berpelukan pelukan di dapur rumahnya.

Adab dan kecintaan seoorang anak kepada orangtua terkadang sulit dicerna oleh rasionalitas. Apa yang berkecamuk di pikiran perempuan berumur 28 tahun saat dia tidak mengindahkan perintah seorang tua renta yang berusia 71 tahun untuk mengacuhkan saja dirinya.?

Bagi Rumini mungkin mati bersama Ibunda tercinta adalah jalan mulia bagi dirinya untuk menunjukkan baktinya, tetapi bagi Ibunya mungkin keselamatan Rumini adalah harapan terbesarnya meski dirinya harus ditinggal seorang diri menghadapi kematian yang biar bagaimanapun pasti akan datang. Percakapan seperti apa yang terjadi di antara mereka saat itu?, apakah perdebatan yang seru ataukah hanya diam dan saling berangkulan untuk menjawab segala keinginan yang mungkin ada di dalam pikiran mereka.?

Kita hanya dapat mereka-reka tanpa mampu membayangkan kira-kira bagaimana perasaan kedua insan yang memilih bertahan untuk menghadapi kematian yang sebentar lagi akan menjemput. Pergulatan bathin antara ibu dan anak, dimana yang satu tidak akan mampu tega meninggalkan Ibundanya sendiri menghadapi maut, dan yang satu tentu ingin melihat darah dagingnya selamat meski ia harus berkorban jiwa sebagaimana naluri dari semua Ibu,tetapi cinta seorang anak kepada orangtua telah menggugurkan semua kemusykilan-kemusykilan itu.

Kita hanya bisa memberi respek yang mendalam dari suatu hal yang sederhana bahwa betapa akan sangat menyiksa bagi seorang Rumini hidup bersama trauma seumur hidupnya karena lari meninggalkan Ibunya sendiri menghadapi terjangan awan panas.

Tidak semua orang bisa memberi pelajaran seperti yang telah ditunjukkan oleh Rumini. Bisa saja ketika menghadapi situasi kritis yang mengharuskan kita memilih seperti dilema yang dihadapi oleh Rumini, kita berdiri pada pilihan pergi menyelamatkan diri.

Tetapi jalinan cinta dan kasih sayang antara anak yang dilahirkan dengan Ibu yang melahirkan telah memilih jalan kebebasannya atas nama cinta dan bakti yang bukan untuk saling menjaga dan melindungi lagi tetapi demi kepasrahan menjemput panggilan Ilahi yang dibawa oleh awan panas yang meluluh lantakkan segala apa yang ditemuinya.

Musibah Semeru dan juga musibah-musibah lain dimanapun, memang membawa banyak duka, tetapi selalu saja ada hikmah, ada pelajaran penting dan berharga dari sebuah kejadian yang oleh pandangan mata fana dipandang sebagai penderitaan semata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline