Lihat ke Halaman Asli

Meti Irmayanti

senang membaca, baru belajar menulis

Hadist Ramadan yang Paling Kuingat adalah Hadist Dhaif, Salahkah?

Diperbarui: 28 April 2021   20:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: irmasenja.com

Dalam ceramah-ceramah Ramadhan seringkali kita mendengar ustadz mengutip hadits tentang keutamaan Ramadhan yakni hadits yang berbunyi:
"Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, sedangkan akhirnya adalah terbebas dari neraka."

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syuabul Iman dan juga diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih ibn Khuzaimah.

Walaupun diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dalam Sahih-nya, menurut al-Suyuthi, hadits ini bermuara pada satu sumber sanad (madar), yaitu Ali ibn Zaid ibn Jadan yang divonis oleh para ulama sebagai orang yang dhaif.

Sedangkan orang yang meriwayatkan hadits tersebut dari Ali ibn Zaid adalah Yusuf bin Ziyad yang divonis dhaif parah (dhaif jiddan). Walaupun ada ulama lain yang juga meriwayatkan hadits ini dari Ali bin Zaid, yaitu Iyas ibn Abd al-Ghaffar. Sayangnya Iyas sendiri juga orang yang majhul menurut Ibn Hajar al-Asqalani. (Lihat: al-Suyuthi, Jmi al-Adts, [Beirut: Dar Fikr, j. 23, h. 176.)

Terus terang hadits ini bagi saya sangat memotivasi, ini termasuk hadits yang sejak saya masuk usia wajib puasa jadi favorit saya yang selalu saya ingat, ini sangat memotivasi saya untuk tidak bolong puasanya mulai dari awal, lalu dipertengahan hingga diakhir Ramadhan.

Namun ternyata sebagaimana penjelasan di atas hadits ini adalah dhaif, lalu apakah hadits tersebut tak bisa diamalkan dan diriwayatkan.?

Sebagai orang yang memfavoritkan hadits ini, tentu saja saya berusaha untuk mencari tahu. 

Menurut Syaikh Dr Mahmud al-Thahhan (Ulama hadits Ummul Quro makkah al mukarramah) menyebutkan bahwa hadits dhaif bisa disampaikan atau diriwayatkan, bahkan tanpa menyebutkan kedhaifannya, namun dengan dua syarat berikut:

Pertama, tidak berhubungan dengan akidah, seperti sifat Allah subhanahu wata'ala, dan sebagainya.

Kedua, tidak berhubungan dengan hukum syariat seperti halal dan haram.

Jadi pada prinsipnya, hadits yang berkaitan dengan fadhail amal (keutamaan beramal) itu boleh diriwayatkan atau digunakan untuk ceramah, walaupun dhaif.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline