ketika kemarau enggan pergi, rasaku seperti terpaku diujung mimpi, diselimuti resah yang tak berujung, kehilangan senja yang selalu basah
kemanakah perginya hujan?, yang telah kutunggu sejak kembang di halaman rumahku kehilangan kumbang yang selalu menemaninya
awan putih hanya berarak pergi, tak pernah menjadi mendung, bunga-bunga mangga di halaman kini hanya menjadi sampah teronggok perih bersama daun kerontang yang berguguran
suara riuh rendah katak yang biasanya ramai di malam-malam desember ini, kini bungkam entah kemana?, pun juga dengan jangkrik yang selalu cerewet kini bagai putri malu yang enggan berbunyi
duhai kemarau apakah kau yang terlambat pulang? ataukah hujan yang terlambat datang?, yang aku tahu tagihan listrik ku mencekik leher karena AC di rumah tak pernah lagi padam
ada yang bilang ini karena la Nina tapi aku tak peduli, yang ku tahu la Baha orang dengan gangguan jiwa itu tak pernah lagi mencuci mukanya di selokan yang kini telah mengering
tapi kemarau aku takut mengutukmu, karena hujan yang kunanti pun, belum tentu datang bersama keramahannya, bisa jadi ia pun datang dengan kemarahannya,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H