Lihat ke Halaman Asli

Meti Irmayanti

senang membaca, baru belajar menulis

Minuman Beralkohol "Iblis Cair" Musuh Kemanusiaan

Diperbarui: 14 November 2020   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyitaan miras tradisional (news.polreskendari.com)

Rancangan undang-undang minuman beralkohol yang akan bahas oleh DPR, tentu menjadi angin segar bagi masyarakat yang mendukung terbitnya aturan yang ketat terhadap peredaran minuman beralkohol (Minol) ini.

Bukan apa-apa, jika kita melihat dampak buruk yang diakibatkan oleh mengkonsumsi minuman beralkohol ini sangat-sangat memiriskan. Banyak contoh-contoh buruk yang diakibatkan oleh kondisi mabuk. Di kota saya Kendari baru-baru ini, seorang ayah yang mabuk setelah mengkonsumsi miras, tega melampiaskan nafsu birahinya pada putrinya sendiri yang masih balita, ada juga hubungan terlarang anak dan ibu yang dilakukan dalam keadaan mabuk, belum lagi kasus-kasus pemerkosaan dan pembunuhan keji yang dilatar belakangi dan dipicu oleh kondisi mabuk, yang mana perbuatan itu harusnya hanya dilakukan oleh iblis bukan manusia.

hal-hal keji seperti itu bukan kali pertama terjadi di sekitar kita, tapi sudah jamak terjadi di masyarakat, yang jadi pertanyaan mengapa sepertinya hal ini dibiarkan saja, tidak ada upaya-upaya serius untuk berperang melawan "iblis cair" yang hadir sebagai Minol ini.

Kalau toh ada upaya "perang" dengan Minol ini, itu dilakukan oleh ormas, namun oleh banyak masyarakat justru dicibir, dan gerakan anti Minol ini sepertinya diidentikkan sebagai gerakan yang kental berbau agama, padahal jika kita ingin jujur perang melawan minuman beralkohol ini bukan hanya perkara dari agama tertentu saja, tapi ini adalah perkara semua agama, ini adalah perkara kemanusiaan.

Dalam pandangan sempit saya, bahwa "budaya" meminum minuman beralkohol (mabuk) itu adalah budaya primitif, yang sudah ada sejak jaman purba, tapi kok di jaman yang sudah milenial ini masih saja dipertahankan, padahal kebiasaan "mabuk" ini sama sekali tidak punya manfaat tapi justru penuh dengan mudarat.

Bahkan satu yang sangat mengherankan, adalah fenomena minuman oplosan, kematian yang diakibatkan oleh minuman oplosan ini sudah tidak terhitung kejadiannya, tapi selalu dan selalu saja ada yang tetap memilih mabuk dengan minuman oplosan, entah kegilaan seperti apa yang merasuki mereka, hingga alkohol dengan kadar 70-90 persen yang dioplos dengan minuman energi drink yang kabarnya juga dicampur dengan spiritus dan aut*n (obat nyamuk usap).

Tak bisa terbayangkan bagaimana bisa sampai ada yang rela mengorbankan tubuh dan juga nyawanya, demi meneguk minuman beralkohol (yang sungguh kasian) dengan harga yang murah meriah tapi mampus.

Memang ada hal-hal yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sepertinya menjadi bagian dari adat istiadat beberapa suku di negeri kita ini yang terkait dengan minuman beralkohol, yang mana dalam RUU Minol hal ini "diakomodir" dalam bab 8 RUU minol.

Di daerah saya di Kendari, juga ada kebiasaan yang sudah turun temurun di masyarakat, namun kini sudah jarang kecuali di pelosok-pelosok kampung kebiasaan ini masih dipelihara. Kebiasaan itu adalah, ketika seorang anak lahir, orang tua atau keluarganya membuatkan "pongasi" yaitu jenis minuman tradisional yang terbuat dari beras yang difermentasi, namun pongasi yang dibuat ini bukan untuk langsung dikonsumsi, tapi pongasi yang dibuat itu ditanam kedalam tanah  bersama dengan tempat membuatnya, dan itu diniatkan hanya akan dibuka saat si bayi yang baru lahir itu kelak menikah, pongasi yang ditanam itu akan menjadi suguhan istimewa saat pesta pernikahan berlangsung.

Pongasi yang ditanam ini konon katanya sangat memabukkan, dan hanya diminum oleh para jagoan minum. Pongasi yang ditanam ini konon mengalami berulang-ulang kali siklus fermentasi, jika pongasi biasa berwarna putih seperti susu kedelai, pongasi yang ditanam warnanya jadi bening, kalau dibandingkan dengan minuman beralkohol ex import, pongasi yang ditanam ini masuk kelas vsop atau very special old product, karena kadang ditanam hingga 20-30 tahun. Kebiasaan membuat pongasi untuk ditanam saat seorang bayi lahir ini, bukanlah bagian dari ritual dan tradisi adat istiadat setempat, tapi ini hanyalah kebiasaan biasa yang dipelihara secara turun temurun.

Semoga RUU Minol ini dapat segera terbit sebagai UU Minol, anggap saja sebagai hadiah atas kepulangan Habib Rizieq, agar ormas FPI tidak perlu lagi disibukkan dengan urusan terkait "iblis cair" yang sangat meresahkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline