Aku membeku bersama nyanyian malam, berpayung kesendirian yang bisu
aku seperti tungku yang padam tersiram gumpalan salju
menelungkup pada menara gading yang kau ciptakan sebagai penjaraku
kau ciptakan malam seperti horor sebelum tidur
bulan purnama mendadak hilang di atas langit pepohonan tinggi membungkus kegelapan
seperti mengenakan mahkota yang tersusun dari ribuan duka lara
air danau membeku kehilangan riak-riaknya yang dulu berkilauan
udara begitu dingin, dengan kemarahannya yang merasukiku
aku begitu kepayahan dengan bualanmu yang tanpa dosa
betapa bergejolaknya hati ini, yang tersungkur oleh dustamu
aku terangkum dalam rasa marah dan cinta yang tak terelakkan
sebuah pemberontakan terhadap kebodohanku yang terpedaya rayuanmu
tak adakah takdir bagiku untuk dapat berjalan dengan seorang pria yang mencintaiku?
tak adakah cinta memabukkan yang diciptakan Tuhan untuk kunikmati?
apakah aku harus membuang semua bayangan cinta
bersama dengan perginya cahaya rembulan di penghujung September ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H