Lihat ke Halaman Asli

Meti Irmayanti

senang membaca, baru belajar menulis

Dokter Bisa Salah, Karena Dia Bukan Tuhan

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aksi solidaritas para Dokter terhadap anggapan “kriminalisasi” dokter dalam kasus dokter Ayu, yang diwujudkan dalam bentuk aksi mogok pelayanan medis oleh dokter selama sehari pada rabu (27/11), mau tidak mau menimbulkan reaksi pro kontra di masyarakat. Dalam kacamata sempit saya sebagai seorang masyarakat sudah sedemikian urgenkah ?. persoalan “isu” Malpraktek dr. Ayu hingga menyebabkan para rekan seprofesi harus menempuh langkah “mogok kerja” dengan meninggalkan tugas dan tanggungjawab profesi mereka untuk memberikan pelayanan medis kepada masyarakat. Kasihan pasien yang membutuhkan pelayanan harus kecewa karena tidak mendapatkan pelayanan, padahal para pasien itu berangkat dari rumah dengan harapan dan tentu saja mengorbankan waktu dan biaya namun tidak terlayani bukan karena kesalahan mereka namun karena “ego” profesi para dokter, bahkan sampai ada pasien rujukan Puskesmas untuk perawatan RS karena menderita DBD harus pulang karena tidak bisa dilayani oleh karena dokter sedang demo. Sungguh logika berpikir kemanusian model bagaimana yang coba ditunjukkan para dokter ini ?...

Kembali ke persoalan awal dr. Ayu, kami juga turut prihatin, kami sangat menghargai dan mendukung perjuangan para dokter untuk menolak “kriminalisasi” dokter, namun perlu pula diingat bahwa banyak jalan dan upaya yang lebih elegan dan lebih “manusiawi” yang bisa ditempuh oleh para dokter, terus terang apa dan bagaimana pun kondisi dunia kedokteran kita, posisi dan kedudukan DOKTER di mata masyarakat adalah sangat mulia, tidak ada yang bisa memungkiri hal tersebut. Tapi kembali lagi saya coba meminjam salah satu slogan pada demo para dokter tersebut yakni “DOKTER BUKAN TUHAN”. Bagi para dokter mereka benar berteriak kalau mereka bukan tuhan yang bisa menyembuhkan dan tidak mematikan pasien, tapi masyarakat juga pantas meminjam istilah itu bahwa dokter bukan tuhan, yang sucidan tidak bisa salah, dokter itu adalah manusia biasa yang bisa saja “LALAI” dalam menjalankan profesinya, sebagaimana bisa lalainya seorang polisi, seorang jaksa, Menteri bahkan ulama dan presiden pun bisa saja lalai dalam menjalankan tugasnya dan mereka juga harus mempertanggungjawabkan kelalaian tersebut menurut hukum positif yang berlaku, tentunya tak terkecuali dokter, apalagi hukum positif kita menjamin bahwa proses persidangan itu dilakukan berdasarkan keadilan dan menghormati hak hak tersangka untuk melakukan upaya pembelaan yang perlu dilakukan, so kalau menurut penilaian para dokter ada kejanggalan dalam putusan hukum dalam kasus ini maka secara logis dan etis pembelaan yang dilakukan pun seyogyianya dalam koridor hukum.

mengutip tulisan Dr.dr.Siti Maisuri Tadjuddin Chalid,SpOG(K) (www.maisurichalid.com)

Untuk saudara2 kami para dokter di Makassar, terima kasih sudah menjadi stimulus untuk Indonesia. Aksi spontan kita kemarin telah menjadi Oksitosin untuk gerakan massif di seluruh negeri hari ini. Aksi kecil kita kemarin telah menggelitik media untuk menjadikan topik kriminalisasi dokter menjadi “Hot issue” di mana-mana. Tidak kurang pakar hukum, organisasi profesi hingga petinggi negeri angkat bicara. Artinya, aksi kita tidak salah, aksi kita didengar dan aksi ini tidak sama aksi solidaritas biasa, aksi ini aksi peringatan agar kita hati2, lebih dari itu..bahkan merupakan bagian dari advokasi terhadap masyarakat dan penegak hukum bhw tidak mudah menetapkan suatu kasus termasuk malpraktek. Dan kasus2 malpraktek seharusnya tidak diadili dgn pasal2 KUHP (dgn pasal pembunuhan misalnya) tetapi menggunakan UU praktek kedokteran, agar yg bukan malpraktek tidak diputus malpraktek, dan kasus malpraktek diputus benar2 malpraktek. Karena setiap keputusan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Kuasa, tidak boleh salah.

Untuk kakanda2 yg tidak sependapat (bahkan sebelumnya mencoba menghentikan kami), mungkin di mata kanda2 gerakan kami dianggap salah, menyimpang dari “main stream” seorang dokter yg selalu tampil elegan. Aksi ini Kanda anggap tidak pakai rasio, memang tidak sepenuhnya rasio, karena Ilmu Kedokteran bukan matematika, kita pakai nurani..sepenuhnya nurani. Mungkin kanda2 tidak merasakan tegangnya suasana emergensi di kamar operasi, lutut kami gemetar, hati kami menjerit… merasakan datangnya aura kematian, namun hati kami harus tegar seperti hati singa (Lion Heart), mata ini harus tetap awas (Eagle Eyes) memantau perdarahan, dan tangan kami harus tetap terampil (ladies hand) mengatasi perdarahan. Apabila pasien meninggal, itu suatu “penyiksaan” bagi kami, karena guilty feeling sampai tidak tidur ber-hari2, sungguh bukan hal yg menyenangkan, harus menyiapkan death case report dengan sejumlah bukti, argumen dan siap2 disikat habis saat pembacaan…ditambah was2 ancaman malpraktek.

Saudara2ku..Walau berbeda pendapat, namun saya yakin misi kita tetap sama. Mari selamatkan dokter Indonesia. Selamatkan masa depan kedokteran dari Yurisprudensi yang keliru. Hidup dokter Indonesia!

www.maisurichalid.com

Dari kutipan diatas saya rasa semua pembaca sepakat dan bisa mengerti bahkan menghargai posisi seorang dokter, tapi perlu juga dokter ketahui bagaimana posisi pasien ? yang begitu menggantungkan kepercayaan dan harapan kesembuhannya pada dokter, dan itu harus mereka biaya dengan biaya yang cukup bahkan sangat mahal, kadang dengan harus mengutang atau menjual harta, atau menggadai harga diri dengan surat keterangan tidak mampu, bahkan saking percayanya sama dokter apalagi ditambah dengan mahalnya biaya “sakit” pasien percaya saja pada diagnosa dokter, tanpa perlu lagi mencari second opinion apalagi third opinion terhadap diagnosa awal penyakit mereka yang mungkin bisa saja “keliru”.

Saya juga mencoba mengajak bicara “jujur” pada rekan-rekan yang berprofesi dokter apakah semua dokter khususnya di negeri ini sudah berlaku sebagai dokter yang sesuai dengan kode etik kedokteran ? ataukah telah banyak dokter yang sudah mengalami disorientasi etik profesi, saya mohon maaf tapi secara pribadi saya merasakan dan berpendapat bahwa masih banyak dokter yang tidak menjalankan profesinya sesuai kode etik, jujur saya sangat menginginkan para dokter menyikapi dengan keras perilaku dokter yang tidak sesuai dengan kode etik kedokteran sama kerasnya dengan sikap para dokter terhadap isu “kriminalisasi” dokter ini. Karena selama ini anggapan di masyarakat dokter itu untouchable sebab saling melindungi antar rekan seprofesi.

Dari paparan di atas, timbul pertanyaan sederhana Siapa sesungguhnya yang butuh ?. Apakah masyarakat/pasien yang butuh dokter ataukah Dokter yang butuh masyarakat/pasien ?

jawabannya juga sesederhana pertanyaannya, namun bergantung pada perspektif subjektifitas penjawabnya. Kalau kita mau menjawab dalam perspektif seperti pada demo mogok pelayanan oleh dokter seperti kemarin, tentu saja jawabannya pasienlah yang butuh dokter dan dokter tidak butuh pasien, dan itu sudah kita lihat dan saksikan sendiri betapa pertunjukan “arogansi” para dokter tersebut menjawab secara telak pertanyaan siapa yang butuh ?

Namun jika kita menjawab dalam perspektif masyarakat yang mengeluhkan tingginya biaya “sakit” dan melihat dari betapa makmurnya dan terhormatnya seorang dokter. maka tentu saja dokterlah yang sesungguhnya BUTUH pasien sebab tanpa pasien maka mereka akan tidak berarti apa-apa, mulai dari mereka kuliah, mereka praktek gratis dirumah-rumah sakit dengan tubuh dan derita pasien, mereka magang sampai mereka praktek sebagai dokter pasienlah yang menghidupi mereka, so siapa dan apapun pasien layanilah mereka sebagai “raja” sebagaimana dalam prinsip bisnis pembeli adalah raja.

Tapi tentulah kedua perspektif di atas adalah perspektif keliru, karena seyogyianya antara dokter dan pasien adalah saling membutuhkan.

Terima kasih para dokter di pundakmu terpikul amanah dan tugas mulia, jangan sampai kalian nodai sendiri, sepanjang anda berjalan dalam koridor etik kedokteran tidak akan mungkin ada satupun bentuk kriminalisasi yang bisa menyentuh kalian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline