Lihat ke Halaman Asli

Pernah Dikecewakan

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Hanya karena kamu pernah dikecewakan seseorang yang kamu sayangi, bukan berarti kamu bisa mengecewakan orang lain yang menyayangimu.” Gambar dari sini Sudah seberapa sering kamu dikecewakan? Walau sudah sering dikatakan kepadamu, bahwa jangan pernah terlalu berharap atau percaya pada manusia, sebab kamu pasti akan kecewa. Cara terbaik untuk tidak kecewa adalah hanya berharap pada Tuhan, atau jangan pernah memiliki harapan berlebihan pada seseorang.

Kalau dipikir-pikir lagi, selama ini sudah seberapa sering kita dikecewakan orang yang sangat kita sayangi dan percayai? Mungkin begitu sering. Meskipun kadang-kadang kita tidak bisa menjelaskan bagaimana kita perlahan belajar memaafkan dan melupakannya, lalu melewati rasa kekecewaan yang membuat dunia kita kelam, hati terasa dicerabut kasar—begitu sakit—namun hingga hari ini kita tetap hidup dan berjalan sebagaimana biasanya. Bagaimana kita bisa pulih, setelah berkali-kali dilukai? Apakah untuk soal perasaan, kita juga memiliki benang-benang fibrinogen yang otomatis terproduksi saat terdeteksi tubuh kita mendapat cedera/luka? Apakah otomatis, Tuhan membuatkan benang-benang fibrinogen untuk menambal luka hati akibat rasa kecewa? Melalui waktukah, obat segala penyakit? Maha baiknya Tuhan, memberikan kita jeda waktu, sebagai penyembuh luka.

Forget to forgive… or … forgive to forget??

Berapa perbandingan antara orang yang mudah melupakan rasa kecewanya untuk memaafkan dengan orang yang memaafkan untuk melupakan? Mana yang lebih mudah, mencoba melupakan terlebih dahulu rasa kecewa tersebut, atau mencoba memaafkan dahulu, sembari perlahan melupakan rasa sakit itu? Setiap orang memiliki caranya masing-masing. Pastinya, setiap permasalahan memiliki penyelesaian. Tergantung pribadi, akankah kita terus berfokus pada kekecewaan? Hanya saja, apakah dengan terus mengingat kesakitan itu, kamu akan merasa nikmat? Damai? Apakah dengan mempertahankan perihnya rasa kecewa, otomatis memberikan kita hak untuk mengecewakan orang lain yang menyayangi kita? Hanya karena kita merasa paling terzalimi, lantas membenarkan kita untuk mengabaikan perasaan orang lain. Tanpa sadar, kita berubah dari korban “yang dikecewakan”, menjadi pelaku “yang mengecewakan”.

Mungkin, pelan-pelan kita harus menyadari kenyataan bahwa suka atau tidak suka kita semua pasti mengalami kecewa, dikecewakan dan mengecewakan. Itu sebuah siklus, dan masing-masing kita memiliki jatahnya. Toh, pada akhirnya… kita sudah lupa hampir sebagian besar peristiwa yang telah kita lewati hari ini. Mungkin rumus yang sama juga berlaku untuk rasa kecewa kita.

Meta morfillah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline