Lihat ke Halaman Asli

Mempopulerkan Lagu "Kokoro No Tomo" di Suginami-ku, Jepang

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13546737111596691273

Di Indonesia, siapa sih yang tidak kenal lagu “Kokoro no Tomo”-nya Mayumi Itsuwa? Rasanya, hampir semua orang Indonesia mengenal lagu ini. Bahkan Wikipedia dalam bahasa Jepang menyebutnya sebagai, “Dai ni Kokka” alias lagu kebangsaan kedua? Haah? Sepopuler inikah lagu ini?

Memang sepertinya begitu. Lagu yang dipopulerkan oleh Mayumi Itsuwa, seorang penyanyi kawakan Jepang ini mulai masuk dan merasuki hati publik Indonesia pada tahun 1980-an. Banyak sekali pertanyaan yang muncul, kenapa sih lagu ini bisa begitu populer di Indonesia (sebenarnya tidak hanya Indonesia, tapi juga wilayah Asia Tenggara)? Pada prinsipnya, lagu ini sebenarnya memang easy-listening alias enak didengar, melankolis dan cocok didengar oleh publik orang Asia Tenggara yang mendayu-dayu. Eh, sebenarnya tidak hanya Asia Tenggara, tapi juga Hong Kong dan Taiwan, lho.

Tapi kenyataannya, lagu ini kurang populer di Jepang. Ini sangat serius. Silakan Anda datang ke Jepang dan lagukan lagu ini di depan mereka. Reaksi mereka akan terbengong-bengong, “Lagu apa ini? Lagunya siapa?” Duuh, seserius itu? Ya, seserius itu. Meski Mayumi Itsuwa sendiri bukan artis yang diremehkan. Meski ia tidak terlalu populer sekali sekarang, tapi status sebagai penyanyi dan pencipta lagu tidak lekang oleh waktu. Ia masih cukup populer di kalangan generasi agak tua. Apalagi lagunya, “Koibito-yo” merupakan lagu yang banyak dianugerahi dengan penghargaan sebagai lagu terbaik. Bahkan di tahun 2005-2006-an ia masih tampil di televisi nasional, NHK atau muncul sebagai bintang tamu di SMAP X SMAP yang acara televisi dengan host grup band SMAP, boyband zaman tahun 1990-an yang tetap populer sampai sekarang di Jepang dengan salah satu anggotanya Kimutaku alias Kimura Takuya, si legendaris artis ganteng serba bisa Jepang. Dengan kata lain, Mayumi Itsuwa, masih “lumayan” populer.

Padahal, mungkin agak lebay kalau dikatakan lagu “Kokoro no Tomo” yang diterjemahkan menjadi “Teman Hati tak Terpisahkan” oleh grup band Zivilia atau menjadi “Soul Mate” ketika dinyanyikan secara duet oleh bintang Indonesia Idol Delon dan Mayumi sendiri, merupakan lagu kebangsaan kedua, bangsa Indonesia. Tapi, nyatanya lagu ini begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia. Pada tahun 1980-an lagu ini begitu melejit. Pada tahun 2006 ada versi duet Delon dan Mayumi, pada tahun 2011 Zivilia mempopulerkannya kembali. Pada tahun 2013, sebuah program televise dengan judul yang sama akan muncul di hadapan publik Indonesia. Kenyataannya, istilah dan lagu “Kokoro no Tomo” begitu melekat di hati masyarakat Indonesia.

Pada pertengahan bulan Oktober yang lalu, saya diminta untuk presentasi mengenai Indonesia di sebuah komunitas yang dinamakan Suginami-ku Association for Cultural Exchange. Suginami-ku adalah nama sebuah, katakanlah wilayah bagian khusus (semacam kecamatan) dari23-ku lainnya di Tokyo. Komunitas ini telah bertahun-tahun mengadakan kegiatan pertukaran budaya semacam ini. Topik negara yang diundang pun bermacam-macam. Kali ini Indonesia yang dipilih menjadi topic seminar. Kebetulan pula, kok ya saya yang kemudian terpilih menjadi pembicara dalam acara ini. Sementara itu, KBRI Tokyo pun juga laporan memuat kegiatan ini.

1354673360825658323

Pada saat menyiapkan materi untuk presentasi ini, saya bingung setengah mati. Pertama, pada saat persiapan itu saya sangat sibuk dengan kegiatan lain yang tiba-tiba membuat saya sangat sibuk dan harus pergi ke luar kota, sehingga membuat saya pening. Berhubung saya “agak” tahu sedikit mengenai sejarah hubungan Indonesia-Jepang, jadi saya memakai topic-topik jadul untuk presentasi ini. Tapi saya terus berpikir, apa sih yang bisa menyambungkan “rasa” antara Indonesia dan Jepang?

Harus diakui sejujurnya, sebenarnya “nama” Indonesia tidak begitu populer di kalangan warga awam Jepang. Pertama, masyarakat Jepang lebih mengenal Bali dari pada Indonesia. Kedua, meski Indonesia pernah dijajah Jepang dan sejarah Indonesia-Jepang cukup panjang dan dalam tapi kedua negara tidak begitu saling memahami dengan baik. Ini fakta. Ironis, tapi fakta.

Akhirnya, saya memilih untuk mempresentasikan sejarah hubungan Indonesia-Jepang (dengan catatan saya tidak memilih masa pendudukan militer, jugun ianfu atau romusha) yang mungkin jarang dilirik oleh masyarakat Jepang (bahkan mungkin, masyarakat awam Indonesia pun demikian pula). Ini juga, karena keterbatasan pengetahuan di bidang ini. Kemudian, saya masih ingin menambah satu hal yang mungkin bisa dijadikan “titik mungil” yang mungkin bisa menarik perhatian para pendengar. “Aha,” saya akhirnya menemukan setelah mengublek-ublek mesin pencari dan You Tube. Iklan dan lagu Kokoro no Tomo.

Mengapa iklan? Iklan mudah dikenali oleh siapa saja. Siapa yang tidak pernah melihat iklan di televisi, kan? Kebetulan saya ingat betul Beat Takeshi, seorang artis besar di Jepang pernah menjadi bintang iklan Pocari Sweat (sorry, ini memang iklan hehe) dengan latar belakang Indonesia, Borobudur dan Jakarta. Kedua, JKT 48 (kebetulan keduanya mengiklankan produk Pocari Sweat), grup girls band adik dari AKB 48 yang lebih dikenal publik Jepang dari pada publik Indonesia. Pilihan kedua adalah lagu “Kokoro no Tomo” lagu yang dikenal publik Indonesia tapi tidak dikenal di publik Jepang. Yes, materi ini saja deh, yang saya pilih.

Pada hari H, terus terang saya agak grogi. Pertama, ide yang keluar baru saja muncul di detik-detik terakhir, kedua saya agak panik ketika peserta mulai berdatangan dan….cukup banyak yang hadir. Mungkin sekitar 100 peserta datang untuk mendengarkan presentasi saya (tambah panik…). Waduh.

Akhirnya, the show must go on, kan? Saya mencoba mencari topic yang saya merasa nyaman. Akhirnya saya menemukan. Saya bercerita bahwa orang Indonesia tidak mempunyai family name. Saya sering bermasalah dengan urusan ini kalau ke luar negeri. Saya pernah hampir tidak terbang karena urusan nama keluarga, di Australia dan pernah dilirik dengan agak bingung oleh petugas imigrasi di Korea. Pernah ditanyai (beberapa kali, malah), “Kalian suami isteri, kan?” “Kalian satu keluarga, kan? “Ya iyalah…,” jadi akhirnya, saya kalau berurusan dengan petugas administrasi di Jepang saya selalu bilang, “Ok, sebelumnya saya perlu waktu 3 menit untuk menjelaskan dulu. Di Indonesia kami tidak punya nama warga atau nama keluarga, jadi kami sekeluarga nama belakangnya ada tiga…bla..bla..bla,” begitulah.

1354674027840611192

Ya, akhirnya presentasi pun berjalan dengan cukup baik. Saya jelaskan bahwa hubungan Indonesia-Jepang diperkirakan telah berlangsung selama berabad-abad. Mungkin abad ke-9 atau ke-10, saya perlihatkan satu gambar Borobudur yang menginspirasi bentuk bangunan stupa di Nara dan Sakai, di Osaka. Bahkan, masih bisa lebih panjang lagi karena ada kemungkinan bangsa Ryuku atau Okinawa kemungkinan masih satu DNA dengan warga di Sunda kecil. Hal ini dibuktikan dengan persamaan linguistic dan budaya. Tapi yang jelas, selama masa sakoku atau masa isolasi negara, Jepang masih terus berhubungan dengan Indonesia. Salah satu bukti nyatanya adalah kata jagaimo yang berasal dari kata jagatara no imo (dan orang Jepang pun banyak yang tidak tahu. Hehe).

13546740651530608619

Sesudah itu, saya juga menunjukkan beberapa foto-foto bahwa di zaman toko Jepang (ini merupakan istilah, yaitu masa-masa sebelum pendudukan ketika banyak imigran Jepang yang sebagian dari mereka membuka toko dan sering disebut dengan nama toko Jepang). Orang-orang Jepang membuka toko dan berdagang dengan orang-orang Indonesia. Selanjutnya masa perang selama tiga tahun 1942-1945. Setelah itu, ada penandatanganan perjanjian perdamaian antara Jepang-Indonesia pada tanggal 20 Januari 1958. Mulai saat inilah Jepang-Indonesia memasuki sejarah baru, sejarah hubungan perdamaian dan diplomatik secara resmi.

Maka tahun 2013, hubungan diplomatic Indonesia-Jepang memasuki usia ke-55 tahun. Meski hal ini saya sering protes karena sebenarnya, kontak dan interaksi bangsa Indonesia-Jepang jauh lebih lama dan dalam dibanding usia ke-55 ini. Toh, konsulat jenderal Jepang telah dibuka tahun 1909 di Hindia Belanda. Toh nyatanya, ada istilah jagaimo di masa zaman Edo. Ya sudahlah, sejarah memang milik sang penguasa.

Meski, harus diakui di masa sekarang ini hubungan Indonesia-Jepang memang lebih dikuasai oleh bagian dari kapitalisme. Ekonomi dan perdagangan. Perdagangan Indonesia-Jepang juga akan tetap bertahan, meski belum menjadi booming pada tahun 1990-an yang lalu. Tapi ekonomi Indonesia yang dinamis dan ekonomi Jepang yang terpuruk bisa jadi akan saling mengisi.

Meski Indonesia naik daun menjadi destinasi untuk menanam investasi perusahaan Jepang. Kenyataannya, orang Jepang sering bertanya, “Indonesia itu dekat dengan Indo (India dalam bahasa Jepang)?” Apakah Indonesia itu sama dengan Indo?” Antara menyedihkan dan menggelikan.

Nah di akhir seminar saya tampilkan iklan-iklan Pocari Sweat yang diputarkan di Jepang (oleh Beat Takeshi) dan JKT 48 yang diputar di Indonesia. Rupanya, mereka baru sadar, “Ooh itu background-nya Indonesia toh?” Di lain iklan saya tampilkan juga iklan Jawa kare (kare Jawa) satu produk yang menampilkan Kimutaku. Jawa itu hanya menampilkan image pedas…Tapi orang Jepang seakan tidak sadar, Jawa itu Indonesia. Bahkan sebenarnya kare pedas itu rendang, bukan kare. Jadi, gimana publik Jepang tidak menjadi bingung dengan “image” yang menyesatkan ini?

Nah, yang terakhir saya tampilkan lagu “Kokoro no Tomo.” Banyak yang tertegun bahwa lagu ini memang tidak populer. Tapi juga banyak yang tertegun karena ada lagu Jepang ini telah banyak mempengaruhi penetrasi budaya Jepang di Indonesia. Bahkan meski Indonesia dilanda gelombang demam K-Pop, nyatanya “Kokoro no Tomo” tetap saja populer dan digemari oleh segala lapisam masyarakat Indonesia. Harus diakui kekuatan lagu ini. Kita harus mengapresiasi Mayumi Itsuwa untuk lagu yang terus terkenang-kenang oleh publik Indonesia ini hingga berpuluh-puluh tahun! Mungkin tidak ada salahnya kita populerkan lagu Kokoro no Tomo ini di publik Jepang.

Yah, dengan harapan, siapa tahu akhirnya mereka tidak perlu mempertanyakan “Apakah kare Jawa sepedas kare India?”

13546738021355981676

Tokyo 5 Desember 2012

Catatan akhir. Setelah saya menulis tulisan ini saya dikirim hasil angket dari ceramah umum saya.Seperti biasa, sangat khas Jepang. Setiap di acara angket dibagikan kepada peserta.

Dari 180 pengunjung 44 peserta mengembalikan angketnya, cukup bersyukur, hasilnya cukup dihargai oleh pendengar ceramah (peserta yang sopan, rupanya). Jawabannya rata-rata baik, "Mudah dimengerti" "Belajar sejarah hubungan Indonesia-Jepang yang belum diketahui" dan lain-lain. Meski ada yang menjawab, "Berhubung saya tidak mengenal Indonesia, saya tidak mengerti". Pekerjaan Rumah rupanya masih panjang menanti....:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline