Hiruk pikuk pesta perayaan Idul Fitri 1433 H memang telah usai. Sebagian masyarakat mungkin sudah mulai berkemas untuk kembali ke kotanya setelah usai melakukan ritual pulang kampungnya di sebagian wilayah Indonesia. Sebagian mungkin masih menikmati kebersamaannya dengan keluarga, saat ini. Namun bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri? Bagi warga Indonesia di luar negeri bertemu dengan teman dan handai taulannya tentu saja merupakan bentuk “kemewahan” tersendiri.
[caption id="attachment_194658" align="aligncenter" width="300" caption="Warga Indonesia di Tokyo memasuki gerbang Wisma Duta (foto koleksi Junanto Herdiawan)"][/caption] [caption id="attachment_194657" align="aligncenter" width="300" caption="Riuh rendah warga Indonesia di Tokyo sewaktu menghadiri Open House di Wisma Duta Tokyo (foto koleksi Syarief Hidayat)"]
[/caption] Warga Indonesia di Tokyo juga mendapatkan kesempatan sekali setahun ini karena kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo secara khusus menyelenggarakan acara ini. Tak jarang mereka datang khusus untuk acara ini dari jauh. Bahkan, ada yang mengaku dari Beppu, daerah paling selatan Jepang. Mereka sebagian (besar) adalah kenshusei atau para pekerja magang yang tersebar di penjuru Jepang. Sebagian lagi adalah para pelajar Indonesia yang sedang menimba ilmu di negara matahari terbit ini. Hajatan “buka rumah” alias Open House selalu diselenggarakan oleh KBRI di kediaman duta besar RI yang bertempat di wilayah Gotanda, di salah satu wilayah pusat di Tokyo. Mengingat peristiwa ini dikunjungi oleh sekitar ribuan warga Indonesia, maka KBRI memberikan ruang baik di wisma duta (istilah bagi kediaman dubes) dan juga sebagian ruang terbuka di dalam wilayah KBRI. Wisma Duta dengan arsitektural art deco yang menawan dibangun pada tahun 1936 oleh keluarga Suzunoya dan gedung KBRI di tahun 1961, dengan dana hasil kesepakatan pampasan perang Jepang, menjadi saksi bisu kehebohan para warga Indonesia melakukan kesempatan untuk menikmati hidangan khas Lebaran dan bertemu muka dengan handai dan taulannya di Jepang selama puluhan tahun terakhir ini. [caption id="attachment_194660" align="aligncenter" width="300" caption="Membagi makanan dan minuman (photo koleksi Junanto Herdiawan)"]
[/caption]
Seandainya, acara ini diselenggarakan di Indonesia tentu dengan mudah pihak KBRI akan mengundang pihak Event Organizer (EO) untuk melakukan segala persiapan demi berlangsungnya hajatan Open House ini. Sayangnya, acara ini berlangsung di Tokyo. Sebuah kota dengan biaya hidup yang termasuk tinggi di dunia, yang tentu saja bisa dibayangkan tidak mudah membiayai semuanya jika dibandingkan di Indonesia. Bahkan kehidupan individualistis bangsa ini juga, tidak memudahkan semua orang diajak untuk berpartisipasi dalam hajatan besar ini. Maka bisa dikatakan tenaga KBRI cukup terbatas. Maka mau tidak mau, hampir semua anggota KBRI diajauk untuk bahu- membahu turun tangan untuk melakukan persiapan-persiapan baik di lapangan mau pun pekerjaan teknis di kantor.
Ibu-ibu dharma wanita perwakilan Tokyo juga melakukan tugasnya sesuai perannya. Di tengah serangan hawa panas dan kantuk yang kadang menyerang di bulan puasa kami harus mencetak kue pastel sebanyak 3000 biji. Meski serasa “mabuk” pastel, hingga pandangan di ruangan menjadi berkunang-kunang gambar pastel, tapi kita dengan semangat menyelesaikan tugas ini. Apalagi ditambah canda ria ibu-ibu di ruangan bawah tanah ruangan yang dimiliki Dharma Wanita, di KBRI Tokyo.
[caption id="attachment_194664" align="aligncenter" width="300" caption="Menggilas, membentuk dan mengisi pastel sebanyak 3000 biji"]
[/caption] [caption id="attachment_194665" align="aligncenter" width="300" caption="Air botol yang kami sediakan itu "]
[/caption] Di hari yang lain, kami memotong kue lapis legit yang khusus didatangkan dari Jakarta. Tugas ini kami lakukan selama tiga hari berturut-turut, di luar belanja bahan persiapannya. Termasuk membeli air botol sebanyak 3500 buah. Ya, hajatan ini setara dengan hajatan pernikahan di Indonesia. Untuk makanan utama, memang kami tidak memasak sendiri tapi kami memesan dari beberapa restoran Indonesia di penjuru Tokyo. Pengaturannya juga tidak sederhana, tentu saja. [caption id="attachment_194667" align="aligncenter" width="300" caption="diimpor khusus dari Jakarta"]
[/caption] [caption id="attachment_194675" align="aligncenter" width="300" caption="potongan kue lapis legit siap dipacking"]
[/caption] Di tengah teriknya mata hari Jepang yang menyengat, diiringi dengan orkestra tonggeret (cicada bahasa Inggrisnya) dan serta kehadiran nyamuk yang hanya muncul di musim panas, kami bahu-membahu menyiapkan meja dan tenda. Musim panas dengan hujannya yang kadang tidak terduga, memaksa kami untuk mempersiapkan plastik untuk meja-meja di ruang terbuka. [caption id="attachment_194678" align="aligncenter" width="300" caption="ibu-ibu dan bapak-bapak mensetting meja dan tenda di Wisma Duta"]
[/caption] Pada hari H-nya, kami tidak menyangka panas terik mata hari menerpa kami. Meski sebenarnya kami agak kecapekan karena kami baru saja menyelesaikan hajatan besar lainnya, upacara pengibaran dan penuruan bendera 17 Agustus perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-67. Persiapan yang maraton selama seminggu penuh sebenarnya menguras energi dan tenaga kami. Tapi, kami mencoba menikmati kenikmatan kebersamaan ini. Bayangkan saja, ada sebagian ibu-ibu yang berkebaya dari pagi yang mungkin sebagian tidak tidur lagi sehabis sahur (termasuk saya, hehehe) dan berkebaya lagi di sore harinya. Jadi, terpaan hawa panas Tokyo di siang hari setelah kami bertugas, membuat sebagian kami lemas tak berdaya. Solusinya? Kami mengabadikan diri dengan kamera dan kamera di ponsel kami, bahkan di saat muka kami sudah mulai kuyu. Bahkan, kami mencoba having fun dan bereksperiman berfoto model levitasi, melayang di udara, keren kan?
[caption id="attachment_194715" align="aligncenter" width="300" caption="Melayani warga Indonesia open house sembari melayang (koleksi Junanto Herdiawan)"]
[/caption] Pesta Idul Fitri telah usai. Sebagian dari kami telah memasuki rutinitas seperti biasa. Perayaan Open House mungkin meninggalkan kenangan, kegembiraan menikmati hidangan ala Indonesia, berjumpa dengan teman dan sahabat. Atau sebaliknya, meninggalkan kesan kurang mengesankan bagi yang hadir karena pelayanan yang kurang memuaskan. Tapi setidaknya, pihak penyelenggara berharap telah berbagi keceriaan, kebersamaan dan kegembiraan. Semoga masih bisa bertemu dengan keceriaan lain tahun mendatang. Minal Aidzin wal Faidzin, mohon maaf lahir dan Batin. [caption id="attachment_194712" align="aligncenter" width="300" caption="Sebagian ibu-ibu yang kuyu karena hawa panas yang tetap berusaha tersenyum"]
[/caption]
Tokyo, 23 Agustus 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H