Pilkada adalah pemilihan dengan kontestasi (contested election) untuk menentukan pejabat publik yakni sosok penguasa yang legitimate terhadap perumusan kebijakan publik. Pemilihan (election) adalah instrumen penting mendapatkan legitimasi politik guna merumuskan dan menerapkan kebijakan publik. "Merujuk pada Ramlan Surbakti (1992: 181) Pemilu diartikan sebagai mekanisme penetapan dan penugasan atau pertukaran kekuasaan kepada orang atau pihak yang dipercaya, dan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 pasal 1 ayat (1) yang disebut Pemilu dapat berarti alat penyelenggaraan demokrasi dalam NKRI yang Berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Namun dari opini saya, tidak selamanya pemilihan dilakukan melalui mekanisme kontestasi. Seperti Pilkada di kota Surabaya mendatang dilakukan tanpa kontestasi (uncontested election) yaitu kotak kosong versus kandidat tunggal. Pada pasangan Eri Cahyadi-Armuji yang mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tangga 28 Agustus 2024. Kandidat ini juga diusung oleh banyak partai politik yang berjumlah 18 partai politik pengusung mulai dari parpol parlemen dan nonparlemen, seperti PDIP, PKB, Demokrat, PKS, PAN, PPP, Gerindra, Golkar, NasDem, PSI, Perindo, Garuda, Ummat, PBB, Gelora, Partai Buruh, Hanura, dan PKN.
Meskipun di daerah ini kandidat tunggal dapat memenangkan kotak kosong pada Pilkada di Surabaya mendatang 2024, tetapi menjadi fenomena politik tersendiri ketika multikandidat gagal dihadirkan. Sejarah panjang kota ini dalam melangsungkan pemilihan kepala daerah sepertinya tercederai dengan munculnya sebuah fenomena kotak kosong (koko) yang oleh banyak orang dianggap sebagai sebuah keajaiban dalam proses berdemokrasi, kenapa tidak karena banyak kalangan masyarakat menilai bahwa jika kandidat kepala daerah yang melawan kotak kosong sudah bisa dipastikan 75% akan mengalami kemenangan.
Tetapi tidak selalu mengalami kemenangan dengan mudah telah tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada telah mengatur mekanisme pilkada yang hanya diikuti calon tunggal. Bahwa dalam Pasal 54D diatur, pemenang pilkada dengan calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah. Apabila suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50%, maka pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya. Pada pasal 25 ayat 1 PKPU Nomor 13 Tahun 2018 disebutkan bahwa apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto pasangan calon, KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pilkada periode berikutnya.
Jadi opini saya terkait kotak kosong akhirnya seakan blunder di alam demokrasi. Sesuatu yang tak demokratis bagai menampar wajah demokrasi sungguh sebuah ironi. Ketika kotak kosong justru yang menang, beberapa konsekuensi tak terhindarkan. Ini semua harus menjadi perhatian kita bersama ketika kotak kosong seakan menjelma menjadi sebuah kekuatan yang menandakan bahwa proses berdemokrasi kita tidak bisa untuk dibodohi lagi, rakyat semakin pintar untuk menentukan pilihannya walaupun wujudnya tidak nyata. Tulisan ini, bermaksud mendiskusikan realitas politik Pilkada yakni pemilihan tanpa kontestasi yakni kotak kosong versus kandidat tunggal pada Pilkada mendatang dibulan november 2024 di kota Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H