Agama adalah urusan pribadi. Ntah bagaimana pun kalian berdinamika di dalam kehidupan ini, agama menjadi pengalaman pribadi dengan Tuhan
Perbedaan bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah kekayaan yang menyemai kehidupan bangsa. Pancasila sebagai dasar negara, nusantara dengan ribuan pulau, ratusan ras, bahasa, suku, dan kepercayaan adalah bukti keberagaman yang mampu menggambarkan mozaik indah. Namun, di tengah keragaman itu, toleransi sering kali dipahami secara beragam pula---ada yang menjadikannya sebagai tuntutan kolektif, sementara lainnya melihatnya sebagai urusan pribadi yang sederhana, tetapi mendalam.
Bagi seorang individu, toleransi adalah urusan hati. Toleransi adalah permasalahan pribadi yang terikat pada rasa kehormatan antar satu sama yang lain. Sebuah nilai yang tidak memerlukan paksaan, akan tetapi tumbuh dari pemahaman kolektif bahwa hidup bersama di dalam keberagaman adalah hadiah keniscayaan. Menghormati keyakinan orang lain, terutama agama adalah bagian dari pilihan hidup mereka. Maka dari itu toleransi bangkit dari tindakan yang bermula dari pribadi yang sadar akan keberagaman sebagai keindahannya.
Menekan Semangat Al-Marjan
Di sebuah pesantren di Lebak, Banten, dua kelompok anak muda bertemu, para santri pesantren Al-Marjan Lebak dan Siswa Kolese Kanisius. Mereka bertemu dalam serangkaian kegiatan bersama. Para Santi yang beragama Islam dengan mereka para siswa Kolese Kanisius yang mayoritas beragama Katolik. Mereka berbaur dalam segala perbedaan, dari kebiasaan hingga pola pikir. Sekilas, kegiatan itu tampak sederhana: mengaji, berdiskusi, dan bermain. Namun, di baliknya, ada dialog tak kasat mata yang terjadi dalam diri masing-masing anak muda tersebut.
Dialog ini adalah refleksi pribadi setiap individu tentang proses menyikapi perbedaan yang nyata di depan mata. Beberapa siswa Kolese Kanisius mungkin bertanya-tanya dalam hati: Mengapa keyakinan mereka berbeda? Apakah cara mereka menjalani hidup salah? Namun, tak ada jawaban yang menghakimi. Pertanyaan itu, dengan sendirinya, membawa pemahaman bahwa setiap individu punya hak atas keyakinannya sendiri. Memiliki pemahaman atas toleransi yang dikemukakan olehnya menurut pengertian masing-masing.
Inilah toleransi yang sebenarnya: keputusan pribadi untuk menerima, bukan paksaan dari luar. Karena toleransi sejati lahir dari hati yang memahami, bukan dari kebijakan yang hanya membatasi.
Toleransi: Dari Pribadi ke Bangsa
Bila toleransi adalah urusan pribadi, bagaimana mungkin ia menjadi pilar bangsa? Justru dari sanalah kekuatannya. Sebuah bangsa yang besar tidak lahir dari aturan yang memaksa rakyatnya untuk rukun, melainkan dari individu-individu yang dengan sadar memilih untuk hidup berdampingan. Inilah yang harus direfleksikan pula oleh pemerintah Indonesia untuk menerapkan Good Governance. Sebuah pemerintah yang perlu membangun proses partisipatif dan responsif terhadap dinamika pergolakan politik. Prinsip tersebut membantu menaruhkan bibit-bibit kepercayaan untuk bersikap toleransi kepada demokrasi, terutama masyarakat Indonesia. 1