Pada tahun 2021, Kemendikbud Ristek merilis hasil penelitian di 79 kampus di 29 kota berbeda mengenai tindak kekerasan seksual di kampus. Hasilnya,77 persen dosen mengaku bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di lingkungan kampus, namun 63 persen kasus tidak terlapor. Data ini menunjukan bahwa kasus kekerasan seksual di kampus merupakan sebuah fenomena gunung es, masih banyak kasus lainnya yang berada diluar radar. Masih banyak korban yang belum mendapat penanganan, dan pelaku yang mendapat ganjaran.
Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang tidak terlapor, pada dasarnya dimayoritasi oleh rasa takut dan inferioritas mahasiswa. Dengan kemungkinan, laporan tersebut akan menjadi bumerang bagi mahasiswa, yang berefek pada masalah pendidikan kedepannya.
Selain itu, kurangnya respon universitas pada masalah ini, merupakan dalang lainnya. Pada kasus mahasiswi Universitas Riau yang melapor pada rektorat atas tindakan pelecehan seksual yang diterimanya, hanya direspon tidak acuh oleh pihak tersebut. Bila tempat melapor sudah tidak mau menerima laporan, kemana lagi harus melapor?
Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, bukan hanya terjadi antara dosen dan mahasiswa, kasus antar mahasiswa juga bisa dan pernah terjadi. Pelaku bisa siapa saja, apalagi korban.
Faktanya, laporan dari Komnas Perempuan menunjukan, bahwa Kampus merupakan lokasi tertinggi nomor 3 kekerasan dan pelecehan seksual paling sering di Indonesia, dan nomor 1 di ruang pendidikan. Hal ini menjadi pertanyaan dan juga pernyataan, bahwa ironi ruang akademisi menjadi ruang kejahatan adalah hal yang nyata dan berbahaya.
Maka, apa yang sebenarnya menjadi penyebab fenomena ini? Jawabannya adalah, intelektual dan mentalitas pelaku. Pelecehan dan kekerasan seksual terjadi bukan karena korban, karena pada dasarnya, tidak ada orang yang ingin menjadi objek pelecehan dan kekerasan seksual.
Pelaku sering kali berdalih, bahwa pakaian korban terlalu terbuka, penampilan korban terlalu seksi, dan berbagai alasan lainnya untuk membenarkan tindakannya. Padahal, kasus pelecehan seksual juga sering terjadi pada korban yang berpakaian tertutup. Maka, ini dalih yang tidak benar. Setiap orang seharusnya bebas mengenakan pakaian yang diinginkannya, tanpa ada rasa takut untuk dilecehkan.
Universitas merupakan tempat pembangun mental dan intelektualitas, fenomena ini sudah seharusnya tidak pernah terjadi di lingkungan kampus. Penyebab masalah ini adalah pelaku, dan bukan korban. titik.
Sebagai komunitas patriarki, kita sering kali membatasi sentimen kita, bahwa pelaku kekerasan seksual adalah pria, dan korbannya adalah wanita. Padahal, fenomena ini bisa terjadi kepada siapa saja, pria, wanita, tidak tertutup kemungkinan.