Industri transportasi yang progresif kini menjadi urgensi dan haluan bagi tiap negara, korporat, dan masyarakat. Kendati demikian, tiap industri yang semakin maju cenderung menciptakan sebuah masalah pada lingkungan, hal ini merupakan sebuah gejala industri yang pasti akan tercipta, tiap penciptaan industri dengan emisi pasti akan disalurkan kembali ke lingkungan. Perubahan iklim, kini menjadi masalah yang nyata dan harus dituntaskan.
Oleh karena itu, industri transportasi kini dituntut untuk mengambil bagian dalam aksi transisi energi, yang dianggap menjadi solusi yang sesuai untuk mengatasi permasalahan lingkungan ini.
Tak terkecuali Indonesia, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia siap untuk melakukan transisi berkala menuju utilisasi kendaraan elektrik secara masif. Beliau juga menyatakan bahwa Indonesia siap menjadi negara bebas emisi karbon pada tahun 2060.
Kendaraan elektrik didukung oleh komponen utama berupa baterai, untuk jenis baterai, yang paling sering digunakan adalah baterai lithium. transisi menuju kendaraan elektrik dikatakan sebagai "solusi hijau". Namun, benarkah baterai lithium memang merupakan "solusi hijau"?
Menurut Rizal Hakiki, pengajar Universitas President, menyatakan bahwa untuk mengetahui baterai lithium lebih lagi, kita harus mengerti perbedaan antara baterai lithium dan baterai asam timbal, yang saat ini digunakan.
"Baterai lithium jauh lebih efektif dan efisien dibanding baterai asam timbal, hal ini didasari oleh titik nyala baterai lithium yang jauh lebih cepat, artinya, agar baterai bisa berelektrolisis, baterai lithium jauh lebih independen dibanding baterai asam timbal."
Hal ini lah yang menyebabkan pergeseran itu terjadi. Kendati demikian, menurut beliau, masalah pada baterai lithium adalah pada tekanan yang tinggi dan penguraian yang tidak hati- hati serta kurang tepat, berisiko membuat baterai lithium mudah meledak.
"Apabila ledakan dari baterai telepon genggam saja sudah sangat besar, coba bayangkan apa yang bisa terjadi pada kendaraan." Menurut beliau, untuk mengatasi hal ini, perlu perhatian lebih khusus pada sistem pendingin.
Untuk membuka pandangan kita terhadap dampak pertambangan baterai lithium, Rizal menambahkan bahwa hanya 5% baterai lithium yang didaur ulang, sisanya di tambang kembali. Hal ini disebabkan oleh penambangan kembali jauh lebih murah dibanding di daur ulang.
"Baterai yang di daur ulang memiliki performa yang lebih rendah dibanding baterai yang ditambang. "Selain itu, untuk menambang satu ton baterai lithium dibutuhkan sekitar 500.000 galon air jumlah tersebut setara dengan 2.273.000 liter air. "Penambangan pada umumnya dilakukan secara evaporasi dan pembakaran, hal ini menyebabkan banyak air yang harus digunakan."