Posisi perpajakan Indonesia kembali menjadi sorotan tajam setelah World Bank (Bank Dunia) mengkritik rendahnya rasio penerimaan pajak di Tanah Air.
Dalam sebuah laporan, Bank Dunia menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan penghimpunan pajak terburuk, bahkan disandingkan dengan Nigeria.
Penilaian ini tentu menggugah pertanyaan mendasar: apa yang menyebabkan hal ini terjadi, dan bagaimana keadilan pajak berperan dalam memperbaiki kondisi ini?
Rendahnya Rasio Pajak Indonesia
Rasio pajak atau tax ratio Indonesia tercatat hanya 10,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2022. Angka ini jauh di bawah negara-negara lain dengan ekonomi berkembang seperti Filipina (15,61%), India (17,33%), Afrika Selatan (21,40%), dan Brazil (24,67%).
Bahkan, menurut Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kepada media), tax ratio Indonesia sebenarnya dapat mencapai 12,2% jika pemerintah tidak menganut sistem belanja perpajakan, yang memberikan insentif dan keringanan pajak bagi sektor tertentu untuk mendukung perekonomian.
Namun, angka ini masih jauh dari ideal. Bank Dunia menyatakan bahwa rendahnya penerimaan pajak Indonesia menunjukkan adanya masalah struktural dalam sistem perpajakan.
Salah satunya adalah kebijakan insentif pajak yang, meskipun bertujuan mendukung pertumbuhan ekonomi, justru menciptakan ketimpangan beban pajak antara masyarakat umum dan pengusaha besar.
Ketimpangan Beban Pajak
Ironisnya, di satu sisi, rakyat kecil dibebani pajak pertambahan nilai (PPN) yang cukup tinggi, sementara pengusaha besar menikmati berbagai keringanan, seperti tax holiday dan insentif lainnya. Dalam konteks keadilan pajak, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebijakan ini benar-benar adil?
Keadilan pajak seharusnya memastikan bahwa beban pajak dibagi secara proporsional berdasarkan kemampuan membayar, sehingga tidak membebani kelompok masyarakat yang rentan.
Kondisi ini diperparah dengan tingkat kepatuhan pajak yang rendah, baik dari wajib pajak perorangan maupun korporasi. Ketidakpatuhan ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari kurangnya transparansi, kompleksitas aturan perpajakan, hingga lemahnya penegakan hukum.