Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Salah satu raksasa industri, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), baru saja dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung (MA), dengan status kepailitannya yang kini telah inkrah atau tetap berlaku.
Keputusan ini semakin memperburuk kondisi sektor yang sudah tertekan, dengan lebih dari 30 pabrik tekstil di Indonesia yang terpaksa tutup dalam beberapa tahun terakhir.
Sritex Pailit: Dampaknya pada Industri Tekstil Nasional
Keputusan pailit Sritex, yang merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, menjadi sorotan utama. Perusahaan ini tidak hanya dikenal luas di pasar domestik, tetapi juga memiliki pengaruh besar dalam ekspor tekstil Indonesia ke berbagai negara.
Dengan lebih dari 50.000 karyawan yang bekerja di bawah bendera Sritex, kepailitan ini tidak hanya berdampak pada keberlanjutan perusahaan, tetapi juga pada lapangan pekerjaan yang hilang, serta menyumbang pada penurunan daya saing sektor tekstil Indonesia.
Sritex telah mencoba berbagai cara untuk mempertahankan usahanya, termasuk melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun pada akhirnya upaya tersebut ditolak.
Kini, perusahaan ini berencana untuk melanjutkan perjuangannya melalui jalur hukum lain seperti Peninjauan Kembali (PK), dengan harapan dapat mempertahankan kelangsungan operasional dan memberikan kesempatan bagi para karyawan untuk terus bekerja.
Deindustrialisasi dan Penutupan Pabrik-Pabrik Tekstil
Tidak hanya Sritex, sektor TPT Indonesia juga tengah dilanda deindustrialisasi. Sejak tahun 2022, lebih dari 30 pabrik tekstil di Indonesia tutup, menambah daftar panjang perusahaan tekstil yang gulung tikar dalam beberapa tahun terakhir.
Kondisi ini diperparah oleh berbagai faktor, mulai dari pandemi COVID-19 yang menghantam ekonomi global, dampak geopolitik internasional, hingga banjir impor tekstil murah dari China yang mematikan daya saing produk dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menyebutkan bahwa Indonesia tengah menghadapi deindustrialisasi tahap ketiga, yang pertama kali terjadi pada 2001 akibat krisis ekonomi, dan yang kedua pada 2012-2014 akibat dampak perjanjian perdagangan bebas dengan China.
Kini, kita kembali dihadapkan pada ancaman serupa, di mana industri tekstil dalam negeri kian sulit bersaing dengan produk impor yang lebih murah, terutama dari China.
Banjir Impor Murah dari China: Ancaman bagi Industri Lokal
Salah satu penyebab utama kerugian yang dialami oleh industri tekstil Indonesia adalah banjirnya impor tekstil murah dari China.