Industri telekomunikasi Indonesia saat ini tengah diguncang kabar besar. Dua pemain utama, XL Axiata dan Smartfren, bersiap menyatukan kekuatan mereka dalam sebuah merger yang ambisius.
Jika berhasil, merger ini akan melahirkan entitas baru bernama MergeCo dengan valuasi mencapai USD 3,45 miliar atau sekitar Rp 55,65 triliun.
Namun, perjalanan menuju penggabungan ini jauh dari mulus. Seperti babak cerita drama, ada harapan besar, tantangan regulasi, dan konflik internal yang mewarnai proses ini.
Awal dari Segalanya
Rencana merger XL Axiata dan Smartfren pertama kali diumumkan pada pertengahan 2024, ketika Axiata Group Berhad dan Sinar Mas Group menandatangani Nota Kesepahaman (MoU). Langkah ini disambut sebagai peluang emas untuk memperkuat layanan telekomunikasi Indonesia. (Sumber: Finpedia)
Dengan basis pelanggan gabungan lebih dari 90 juta pengguna, MergeCo diyakini dapat meningkatkan efisiensi operasional, memperluas cakupan jaringan, dan mempercepat inovasi layanan.
Namun, seperti layaknya merger besar lainnya, proses ini memerlukan lampu hijau dari regulator, yaitu Kementerian Komunikasi dan Digital (dulu Kominfo) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Proses persetujuan ini berlangsung di tengah transisi pemerintahan, sehingga beberapa pihak mempertanyakan sejauh mana dukungan dari kabinet baru.
Target dan Realitas di Lapangan
Target awal merger ini adalah penyelesaian pada akhir tahun 2024. Meskipun ambisius, target tersebut dihadapkan pada sejumlah tantangan.
Faktor-faktor yang mendukung tercapainya target meliputi komitmen tinggi dari Axiata Group dan Sinar Mas Group, serta urgensi bagi kedua perusahaan untuk meningkatkan daya saing menghadapi pasar telekomunikasi yang semakin ketat.
Namun, beberapa kendala besar juga muncul:
- Regulasi yang Berbelit: Proses mendapatkan persetujuan dari regulator memerlukan waktu, terutama karena transisi kabinet baru yang bisa mengubah prioritas kebijakan.
- Isu Internal: Pengunduran diri CEO XL Axiata dan aksi cuti massal oleh serikat pekerja memperlihatkan adanya ketidakpuasan internal yang berpotensi memperlambat pengambilan keputusan strategis.
- Kepercayaan Publik: Polemik transparansi dalam merger ini dapat menciptakan hambatan tambahan, terutama dari karyawan dan pemangku kepentingan lainnya.
Jika hambatan ini tidak segera diatasi, besar kemungkinan target akhir tahun 2024 akan sulit tercapai. Sebaliknya, langkah-langkah proaktif, seperti mempercepat komunikasi dengan regulator dan meredam konflik internal, dapat membantu mempercepat proses ini.
Drama di Internal Perusahaan
Ketegangan muncul ketika berita mengenai pengunduran diri Dian Siswarini, Presiden Direktur & CEO XL Axiata, mencuat pada Desember 2024. Langkah ini mengejutkan banyak pihak, terutama karena Dian adalah sosok kunci yang memimpin proses merger.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, serikat pekerja XL Axiata melancarkan aksi cuti massal sebagai bentuk protes terhadap ketidaktransparanan proses ini. (Sumber: detik.com)