Perusahaan unicorn, atau startup yang memiliki valuasi lebih dari satu miliar dolar, telah menjadi sorotan dalam lanskap pasar sekunder yang semakin berkembang.
Pasar sekunder, tempat di mana saham perusahaan yang belum terdaftar diperdagangkan, menjadi penting bagi startup yang ingin memberikan likuiditas kepada karyawan dan investor awal tanpa harus melalui IPO (Initial Public Offering).
Namun demikian, meskipun potensi pasar ini besar, banyak unicorn menghadapi berbagai tantangan untuk mencapai likuiditas yang efektif.
Tantangan di Pasar Sekunder
Menurut Tom Callahan, CEO Nasdaq Private Market, hanya sekitar 25 dari 1.200 unicorn global yang memiliki likuiditas nyata di pasar sekunder. Beberapa perusahaan besar seperti SpaceX, OpenAI, dan Stripe menjadi pusat perhatian, namun mayoritas unicorn lain menghadapi kesulitan dalam menyediakan akses yang cukup kepada investor. (Sumber: Fortune, 17 Oktober 2024)
Salah satu hambatan terbesar adalah kontrol yang ketat dari perusahaan itu sendiri terhadap perdagangan saham mereka. Banyak perusahaan menolak perdagangan di pasar sekunder atau hanya mengizinkannya dalam kondisi terbatas.
Selain itu, investor sering kali tidak memiliki akses informasi yang memadai tentang kinerja perusahaan, terutama bagi perusahaan yang belum melakukan IPO. Ini meningkatkan risiko bagi mereka yang tertarik untuk berinvestasi di unicorn melalui pasar sekunder.
Namun, stigma terkait "down rounds" (putaran pembiayaan yang menurunkan valuasi) sudah mulai menurun.
Tom Callahan menambahkan bahwa lebih banyak unicorn mulai terlibat dalam penawaran tender, yang memungkinkan karyawan dan pemegang saham awal menjual sebagian saham mereka. Pada Mei 2024, lebih banyak transaksi tender terjadi dibandingkan sepanjang tahun 2023, menunjukkan rebound signifikan di pasar swasta.
Perkembangan Bukalapak