Laki-laki memegang sekitar 70 persen pekerjaan yang mencemari lingkungan di dunia, sehingga banyak yang mengira merekalah yang paling terdampak oleh transisi menuju energi yang lebih bersih.
Negara-negara menutup industri kotor dalam upaya untuk melakukan dekarbonisasi dan mencapai target emisi nol bersih, yang berpotensi menghilangkan banyak pekerjaan tradisional yang didominasi oleh laki-laki.
Namun, analisis dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa perempuan juga berada dalam risiko yang signifikan. Hal ini karena terlalu sedikit perempuan yang mempelajari mata pelajaran sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) yang sangat penting bagi pekerjaan ramah lingkungan di masa depan.
Dampak kesenjangan gender dalam transisi hijau ini terlihat jelas di seluruh dunia, termasuk di negara berkembang seperti Indonesia.
Dampak Kesenjangan Gender dalam Transisi Hijau
Data menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih sedikit terlibat dalam pekerjaan ramah lingkungan dibandingkan dengan laki-laki. Di negara-negara maju, hanya sekitar 6 persen perempuan yang bekerja di sektor ramah lingkungan, sementara lebih dari 20 persen laki-laki terlibat di sektor ini.
Kesenjangan ini bahkan lebih besar di negara-negara berkembang, di mana perempuan menghadapi lebih banyak tantangan dalam mengakses pendidikan STEM dan peluang kerja berkelanjutan.
Kesenjangan ini sangat penting, karena pekerjaan ramah lingkungan memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat dan menawarkan upah yang lebih tinggi daripada sektor lainnya. Misalnya, di Kolombia, laki-laki yang bekerja di sektor ramah lingkungan mendapatkan upah premium 9 persen, sementara perempuan mendapatkan upah premium lebih tinggi, yaitu 16 persen.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa jika perempuan tidak diberdayakan untuk berpartisipasi dalam sektor ini, mereka akan kehilangan peluang ekonomi yang signifikan.
Tantangan di Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan yang mirip, bahkan lebih besar dalam beberapa aspek, dalam hal keterlibatan perempuan di sektor ramah lingkungan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hanya sekitar 20 persen tenaga kerja di sektor teknologi dan energi di Indonesia diisi oleh perempuan.
Padahal, sektor ini sangat penting dalam transisi ke energi terbarukan dan berkelanjutan, yang semakin berkembang di Indonesia melalui kebijakan seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).