Sumenep, sebuah kabupaten di ujung timur Pulau Madura, bukan hanya terkenal dengan garamnya, tetapi juga dengan kekayaan sejarah, budaya, dan kuliner yang menggugah selera. Pada suatu hari yang cerah, saya memutuskan untuk menyusuri jejak sejarah Sumenep, sebuah perjalanan yang membawa saya melintasi waktu, menelusuri kemegahan masa lalu di Keraton Sumenep, keunikan Masjid Jamik, hingga menikmati lezatnya Sate Bluto yang melegenda.
Perjalanan saya dimulai dari Surabaya, kota besar yang menjadi pintu gerbang utama menuju Pulau Madura. Dulu, ketika saya pertama kali mengunjungi Madura, menyeberangi Selat Madura harus menggunakan kapal feri. Perjalanan dengan feri itu memakan waktu sekitar satu jam, memberikan saya kesempatan untuk menikmati pemandangan laut yang luas dan tenang. Namun, sejak tahun 2009, perjalanan ke Madura menjadi lebih cepat dan mudah dengan adanya Jembatan Suramadu, sebuah jembatan fenomenal yang menghubungkan Surabaya dengan Pulau Madura.
Sebelum tiba di Surabaya, dari jendela pesawat, saya sempat melihat bentangan megah Jembatan Suramadu yang memanjang di atas Selat Madura. Jembatan tersebut tampak kokoh dan mengesankan dari ketinggian. Saya segera mengambil kamera dan mengabadikan momen tersebut dari udara. Pemandangan ini benar-benar menakjubkan, memberikan perspektif berbeda tentang keindahan dan kemegahan infrastruktur yang menghubungkan dua pulau di Indonesia.
Setelah mendarat di Surabaya, saya kembali melihat Jembatan Suramadu, kali ini dari darat. Melintasi jembatan sepanjang 5,4 kilometer itu merupakan pengalaman tersendiri. Jembatan ini membentang megah di atas Selat Madura, menjadi simbol kemajuan infrastruktur Indonesia.
Saat melaju di atas jembatan, saya bisa merasakan perpaduan antara modernitas dan tradisi yang ada di Madura. Pemandangan laut yang luas di kanan dan kiri jembatan seolah mengajak saya untuk sejenak merenungi perjalanan waktu, dari masa ketika feri menjadi satu-satunya akses menuju Madura hingga kini, dengan adanya jembatan yang menjadi penghubung utama.
Setelah menyeberangi Selat Madura melalui Jembatan Suramadu, saya melanjutkan perjalanan darat menuju Sumenep, yang terletak di ujung timur Madura. Jalanan di Madura memberikan nuansa pedesaan yang damai, dengan pemandangan pantai yang eksotis, sawah dan perbukitan di sepanjang jalan. Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, akhirnya saya tiba di kota Sumenep, tempat di mana sejarah dan budaya Madura begitu kental terasa.
Perhentian pertama saya di Sumenep adalah Keraton Sumenep, sebuah kompleks istana yang pernah menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Sumenep. Memasuki area keraton, saya langsung disambut oleh Labhang Mesem, pintu gerbang utama yang penuh sejarah. Pintu ini, dengan loteng di atasnya, dulunya digunakan oleh para bangsawan untuk mengawasi kegiatan di dalam keraton.
Meskipun ukurannya tidak sebesar keraton-keraton di Jawa, Keraton Sumenep memiliki pesona tersendiri dengan bangunan-bangunan yang memancarkan aura keagungan dari masa lalu.