Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

TERVERIFIKASI

Pensiunan Gaul Banyak Acara

"Forgive but Not Forget" Menemukan Kedamaian di Tengah Ketidaksempurnaan Manusia

Diperbarui: 10 Agustus 2024   08:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar diolah dengan AI: copilot.microsoft.com, dokumentasi pribadi Merza Gamal

Manusia diciptakan dengan segala ketidaksempurnaannya. Kesalahan adalah bagian dari kodrat manusia, tetapi bersama dengan kelemahan ini, manusia juga diberkahi kemampuan untuk memperbaiki diri, salah satunya melalui sifat pemaaf. Sifat pemaaf adalah salah satu kualitas yang paling mulia, tetapi tidak semua orang mampu dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain.

Pertanyaannya, mengapa kita sering merasa mudah untuk memaafkan namun begitu sulit untuk melupakan? Apakah ini pertanda bahwa kita sebenarnya belum sepenuhnya memaafkan?

Fenomena "forgive but not forget" atau memaafkan tetapi tidak melupakan adalah sesuatu yang sangat umum dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Islam mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang pemaaf, sebagaimana tercermin dalam beberapa ayat Al-Qur'an.

Dalam Surat an-Nisa [4]: ayat 149, Allah SWT berfirman, "Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Kuasa." Ayat ini mengajarkan kita bahwa memaafkan adalah tindakan yang sangat mulia dan mendapat pahala yang besar dari Allah.

Namun, memaafkan bukanlah proses yang sederhana. Sebagaimana dijelaskan oleh para psikolog, memaafkan adalah proses yang melibatkan evaluasi mendalam terhadap reaksi emosional kita.

Michael McCullough, seorang psikolog, menyatakan bahwa memaafkan terjadi ketika kita tidak lagi termotivasi untuk membalas dendam, tidak menghindari orang yang telah melukai kita, dan benar-benar ingin berdamai dengan hati yang tulus.

Memaafkan adalah cara untuk melepaskan diri dari beban emosi negatif yang mungkin kita pikul, tetapi sering kali kita menemukan bahwa melupakan rasa sakitnya adalah bagian yang paling sulit.

Saat kita merenung lebih dalam, kita mungkin menemukan bahwa kesulitan untuk melupakan sebenarnya berkaitan erat dengan identitas personal kita. Harga diri, ego, dan rasa aman yang terguncang akibat pengalaman yang menyakitkan, sering kali membuat kita enggan melupakan peristiwa tersebut.

Hal tersebut diperkuat oleh berbagai penelitian psikologi yang menunjukkan bahwa keputusan untuk memaafkan sangat dipengaruhi oleh suasana hati, identitas sosial, dan keterikatan emosional yang kita miliki.

Misalnya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Feng Jiang dan timnya di Central University of Finance and Economics di Beijing, ditemukan bahwa partisipan yang sedang dalam suasana hati yang bahagia cenderung lebih mudah memaafkan. Ini menunjukkan bahwa emosi positif memainkan peran penting dalam proses pemaafan.

Di sisi lain, penelitian Chelsea L. Greer dari Virginia Commonwealth University menunjukkan bahwa individu yang memiliki keterikatan kuat dengan komunitas agama mereka cenderung lebih mudah memaafkan anggota komunitas yang sama, karena adanya kesamaan identitas sosial yang kuat.

Namun, di luar konteks sosial dan emosional, memaafkan pada hari-hari biasa sering kali lebih sulit daripada saat momen-momen khusus seperti Lebaran. Mengapa kita lebih mudah memaafkan saat Lebaran? Karena pada saat itu, permaafan menjadi bagian dari identitas sosial dan religius kita.

Lebaran adalah momen spiritual yang memotivasi kita untuk memaafkan karena ia dianggap sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab kita sebagai umat beragama. Dengan demikian, identitas sosial kita sebagai seorang Muslim yang merayakan hari besar agama mendorong kita untuk memaafkan dengan lebih mudah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline