Di era globalisasi dan digitalisasi yang terus berkembang, kesenjangan peluang dan ketidaksetaraan hasil dalam dunia kerja semakin menjadi perhatian. Di tengah tantangan ini, Opportunity@Work muncul sebagai contoh inspiratif. (Sumber: Opportunity@Work: Addressing the opportunity gap and improving workforce equity outcomes, 1 Agustus 2024)
Organisasi nirlaba ini berkomitmen untuk memperluas akses karier bagi pekerja dengan keterampilan melalui jalur alternatif, bukan hanya berdasarkan gelar sarjana empat tahun.
Opportunity@Work berfokus pada meningkatkan kesetaraan dalam dunia kerja dengan mendukung pekerja yang memiliki keterampilan melalui jalur alternatif (STARs). Organisasi ini bertujuan untuk membuka lebih banyak peluang bagi STARs yang mungkin tidak memiliki gelar sarjana tetapi memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
Opportunity@Work didirikan setelah melihat tantangan besar yang dihadapi oleh pekerja tanpa gelar sarjana empat tahun. Pengalaman pendirinya di berbagai sektor menunjukkan bahwa pengangguran jangka panjang dan praktik perekrutan yang kaku sering mengecualikan STARs, menciptakan kesenjangan dalam akses peluang karier.
Organisasi ini bekerja untuk mengubah praktik perekrutan dengan memanfaatkan data, alat visualisasi, dan sumber daya lainnya. Dengan pendekatan ini, Opportunity@Work berusaha menciptakan akses yang lebih adil ke pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi, memungkinkan STARs untuk bersaing secara setara dengan kandidat lainnya.
Opportunity@Work berkolaborasi dengan McKinsey untuk mengembangkan alat perekrutan inklusif dan berbagi penelitian yang memperluas dampak inisiatif ini. Kerjasama ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan solusi praktis bagi perusahaan yang ingin lebih inklusif dalam praktik perekrutan mereka, menciptakan tenaga kerja yang lebih beragam dan inklusif.
Organisasi ini fokus pada Keadilan untuk Kelompok Kurang Terwakili dengan memastikan bahwa STARs dari kelompok minoritas mendapatkan hasil yang adil dalam pasar kerja. Upaya ini menunjukkan bahwa mengatasi kesenjangan peluang bukan hanya tentang membuka akses, tetapi juga tentang memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk sukses.
Namun, kesenjangan peluang juga berhubungan erat dengan isu hukum dan regulasi tenaga kerja. Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menolak permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan terkait pasal 35 ayat 1 yang diajukan oleh Leonardo Olefins Hamonangan. Pasal ini dinilai diskriminatif oleh pemohon karena memungkinkan pemberi kerja menentukan syarat rekrutmen yang dianggap menghambat orang, terutama yang berusia di atas 30 tahun, untuk mendapatkan pekerjaan.
Isu ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan berbagai faktor dalam perekrutan dan promosi tenaga kerja. Dalam konteks ini, pengakuan keterampilan alternatif menjadi krusial. Pengalaman dan keterampilan seharusnya menjadi fokus utama, bukan sekadar gelar akademik atau usia.
Hal tersebut beralignasi dengan pandangan masyarakat umum bahwa batasan usia tertentu dalam melamar pekerjaan seharusnya tidak relevan. Selama individu telah memasuki usia kerja dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan, mereka berhak mendapatkan kesempatan yang sama.
Bisakah Diimplementasikan di Indonesia?