Kunjungan ke Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman dan Keraton Kadriyah
Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, menyimpan pesona sejarah yang kaya dan menarik untuk dijelajahi. Salah satu peninggalan bersejarah yang paling menonjol adalah Kesultanan Melayu Pontianak, yang didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie pada tahun 1771.
Dalam beberapa kali kunjungan saya ke Pontianak, saya berkesempatan menapak tilas kejayaan kesultanan ini melalui dua situs bersejarah utamanya: Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman dan Keraton Kadriyah. Kedua tempat ini tidak hanya memberikan wawasan mendalam tentang sejarah Pontianak, tetapi juga menawarkan pengalaman perjalanan yang memukau.
Sejarah Kesultanan Melayu Pontianak
Kesultanan Melayu Pontianak didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie setelah ia melakukan perjalanan dari Mempawah menyusuri Sungai Kapuas pada tahun 1771. Dengan membawa rombongan yang terdiri dari 14 perahu, ia tiba di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada tanggal 23 Oktober 1771.
Di sini, Syarif Abdurrahman membuka hutan dan membangun pemukiman yang kemudian berkembang menjadi Kota Pontianak. Bersamaan dengan itu, ia mendirikan masjid dan istana yang menjadi pusat kehidupan kerajaan.
Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman
Perjalanan saya dimulai dengan mengunjungi Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman, yang berdiri anggun di tepi Sungai Kapuas. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Pontianak, menjadi saksi bisu dari awal mula berdirinya Kota Pontianak. Arsitektur masjid ini mencerminkan gaya Melayu dengan atap tumpang dan tiang-tiang kayu ulin yang kokoh, memberikan kesan kuat dan megah.
Saya tiba di sana saat senja menjelang magrib, waktu yang tepat untuk menikmati keindahan masjid ini. Langit berubah menjadi lembayung senja, memantulkan cahaya keemasan di permukaan sungai, menciptakan suasana yang begitu damai dan mempesona.
Di pelataran masjid, saya melihat banyak warga yang sedang menunggu waktu magrib, bercengkerama dengan kerabat, dan menikmati suasana sore. Perahu-perahu tradisional terlihat hilir mudik di sungai, membawa hasil tangkapan atau sekadar mengantarkan warga pulang.
Pemandangan ini membawa saya kembali ke masa lalu, membayangkan kehidupan Sultan Syarif Abdurrahman dan masyarakatnya yang hidup harmonis di sekitar sungai.