Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

TERVERIFIKASI

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Sinar Kebesaran Hati Seorang Ibu

Diperbarui: 1 Maret 2024   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Photo ilustrasi, sumber gambar: Dokumentasi Merza Gamal

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang penuh dengan cobaan dan keterbatasan, terdapat seorang wanita yang menjadi mercusuar bagi keluarganya: ibuku, seorang pejuang yang tak kenal lelah. Kenangan akan masa kecilku selalu menghadirkan bayangan ibu yang penuh kehangatan, meski hidup kami seringkali diliputi oleh kesulitan finansial.

Ibu adalah sosok yang selalu menempatkan kepentingan kami di atas segalanya. Ketika Ayah pergi meninggalkan kami karena sakit yang tak mampu kami sembuhkan, ibu menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga.

Dengan gigih, ia memikul beban yang berat untuk memastikan bahwa kami memiliki cukup untuk bertahan hidup. Kadang-kadang, makanan yang kami miliki hanya cukup untuk mengenyangkan anak-anaknya, dan ibu akan tersenyum dan berkata, "Aku sudah kenyang."

Ketika aku tumbuh menjadi remaja, tantangan hidup semakin berat. Ibu harus mencari cara untuk membiayai pendidikan kami, sesuatu yang sangat penting baginya. Aku masih ingat betapa beratnya ibu bekerja setiap hari, terkadang hingga larut malam, untuk menafkahi kami. Meskipun kelelahan itu terpampang jelas di wajahnya, namun ia tidak pernah mengeluh.

"Kamu harus mendapatkan pendidikan yang baik," katanya dengan tegas, seolah tidak mengindahkan lelah yang membakar tubuhnya.

Setelah lulus dari sekolah menengah, beban finansial keluarga kami semakin bertambah. Namun, ibu tidak pernah menyerah. Dengan kekuatan yang tak tergoyahkan, ia tetap bekerja keras, mencari peluang di mana pun ia bisa untuk memastikan kami memiliki segala sesuatu yang kami butuhkan. Bahkan saat kami menyarankan agar ia mengambil uang yang kami kirimkan dari pekerjaan kami di luar kota, ia dengan tegas menolaknya.

"Aku bisa mengurus diriku sendiri," ucapnya sambil tersenyum, memancarkan kebanggaan dan kekuatan yang luar biasa.

Tetapi, meskipun tetangga-tetangga menyarankan ibu untuk menikah lagi, ia tetap tegar dengan kata-kata, "Saya tidak butuh cinta."

Ketika aku mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri dengan beasiswa, hatiku dipenuhi kebahagiaan, namun juga kekhawatiran. Bagaimana ibu akan bertahan tanpaku di sini? Namun, ibu dengan penuh keberanian melepaskanku pergi.

"Aku akan baik-baik saja," katanya dengan senyum hangat yang menguatkan hatiku.

Waktu berlalu dengan cepat. Aku meraih gelar sarjana, kemudian master, dan akhirnya mendapat pekerjaan di sebuah lembaga ternama. Namun, kesuksesan yang kudapatkan terasa hampa tanpa kehadiran ibu di sampingku untuk berbagi kebahagiaan ini.

Ketika ibu terkena penyakit yang mengancam nyawanya, aku merasa dunia ini hancur. Aku meninggalkan pekerjaanku dan segera pulang ke sisi ibu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Melihatnya dalam keadaan yang rapuh, namun masih memiliki senyum untukku, membuatku menangis tersedu-sedu. Meskipun tubuhnya lemah dan penuh dengan rasa sakit, ibu tetap tegar dan berkata, "Jangan menangis, anakku. Aku baik-baik saja."

Dan dengan senyum terakhirnya, ibu menutup mata untuk selamanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline