Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

TERVERIFIKASI

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Kisah Kejujuran dan Ketulusan Ibu dalam Keterbatasan

Diperbarui: 25 Februari 2024   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo ilustrasi, sumber: Dokumentasi Merza Gamal

Dalam kegelapan kehidupan yang dipenuhi dengan keterbatasan, tersembunyi secercah cahaya yang menerangi jalan kita: kejujuran dan pengorbanan seorang ibu yang tak terlupakan.

Saat aku memandang kembali masa kecilku, kenangan akan sejumlah momen indah bersama ibu menjadi sinar terang dalam ingatanku, menggambarkan bagaimana ia menjelma menjadi pahlawan sejati bagi keluarga kami.

Ketika aku masih kecil, saat itu rezeki seringkali menjadi hal langka bagi keluarga kami. Meski begitu, ibu selalu berusaha untuk memastikan anak-anaknya tidak kelaparan. Aku masih jelas ingat bagaimana ibu mengorbankan porsinya sendiri saat makan, dengan penuh kasih berkata, "Aku tidak lapar, nak." Setiap suapan yang kami ambil menjadi pengingat betapa besar pengorbanan seorang ibu.

Saat aku mulai memasuki masa remaja, tantangan hidup semakin berat. Ibu dengan gigihnya mencari cara untuk membiayai pendidikan abang dan kakakku. Aku masih teringat bagaimana suatu malam, aku bangun dan melihat ibu bekerja keras menempel kotak korek api demi mencari tambahan penghasilan.

Dengan senyum lembut, ibu berkata, "Cepatlah tidur, aku tidak penat," meski tubuhnya terlihat lelah karena usahanya yang tanpa henti.

Pada masa sekolah menengah, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kepentingan hidup. Di suatu malam, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api.

Aku berkata: "Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih harus kerja." Ibu tersenyum dan berkata: "Cepatlah tidur nak, aku tidak penat."

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental.

Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata: "Minumlah nak, aku tidak haus!"

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai keperluan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan.

Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang pakcik yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata: "Saya tidak butuh cinta."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline