Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

TERVERIFIKASI

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Sebuah Kisah Mengharukan: Aku Menangis untuk Adikku

Diperbarui: 29 Oktober 2023   08:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo Ilustrasi, sumber gambar: Dokumentasi keluarga Merza Gamal

Sebuah kisah dari negeri sakura yang diterjemahkan dan disusun ulang dari "I Cried for My Brother Six Times" yang mungkin dapat kita petik hikmahnya sebagai cermin dalam kehidupan. Sebaiknya sebelum membaca kisah di bawah ini, sediakan dulu sapu tangan Anda. Selamat membaca dan mengambil hikmahnya.

Aku Menangis untuk Adikku

Aku lahir di dusun terpencil di lereng pegunungan. Orangtuaku bekerja keras membajak tanah kering berwarna kuning, punggung mereka selalu melawan langit biru. Aku adalah anak sulung dari keluarga kami, dengan adik yang tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu hari, ketika keinginanku untuk memiliki sebuah sapu tangan yang sedang menjadi tren di kalangan gadis-gadis di sekitarku, aku tergoda untuk mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Keputusanku itu segera terbongkar, dan ayah mengambil langkah tegas. Dia membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, memegang tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" tanya ayah. Aku terdiam, terlalu takut untuk berbicara. Tanpa pengakuan, ayah dengan marah mengumumkan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua akan menerima hukuman yang pantas!"

Tongkat bambu itu diangkat tinggi-tinggi, siap menjatuhkan hukuman. Namun, tiba-tiba, adikku dengan penuh keberanian mencengkram tangan ayah dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat itu turun dengan kejam, menghantam punggung adikku berkali-kali, hingga ia hampir kehilangan nafas. Ayah marah, dan kata-kata kerasnya tak henti-henti, "Kamu belajar mencuri di rumah sekarang, dan kamu memalukan keluarga kita! Bagaimana mungkin kamu menjadi seorang pencuri yang tak tahu malu?"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dengan erat. Tubuhnya penuh luka, tapi ia tidak menitikkan air mata sedikit pun. Saat malam tiba, aku mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangannya yang kecil, mengatakan, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Rasa bersalahku tak kunjung hilang, karena aku tidak cukup berani untuk mengaku. Insiden itu terus menghantuiku sebagai kenangan yang tak pernah pudar. Aku takkan pernah melupakan bagaimana adikku telah melindungiku. Waktu itu, adikku berusia delapan tahun dan aku sebelas tahun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline