Lihat ke Halaman Asli

Merza Gamal

TERVERIFIKASI

Pensiunan Gaul Banyak Acara

Saat Pasangan Hidup Divonis Kanker Stadium Lanjut

Diperbarui: 20 Januari 2024   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Pixabay)

Saat dokter dan tim kesehatan menyampaikan vonis kanker, rasanya seperti mendengar petir di siang bolong. Dan jika yang divonis tersebut adalah pasangan hidup kita, rasanya seperti menghadapi palu godam karena kehidupan pasangan kita akan segera berakhir.

Ketika vonis disampaikan, kondisinya adalah kanker stadium lanjut, dan secara ramalan medis hampir-hampir tidak dapat disembuhkan. Dan, yang menyesakkan adalah seseorang baru diketahui mengidap kanker kebanyakan sudah pada stadium lanjut (stadium 3-4). Sehingga begitu mendengar vonis dokter bahwa pasangan kita menderita kanker, maka seolah-olah semuanya akan berakhir.

Hampir sepuluh tahun yang lalu, saya mengalaminya. Pasangan hidup saya, yang sebelumnya sehat-sehat saja dan tidak ada tanda-tanda, tiba-tiba divonis kanker stadium III D menjelang stadium IV.

Image: Saat pasangan hidup divonis kanker stadium lanjut (Grafis by Merza Gamal) 

Awalnya, saat istri saya pijat ketika weekend, tiba-tiba terasa ada benjolan yang keluar dari daerah payudaranya yang selama ini tidak pernah dirasakan ada yang bengkak di sana.

Setelah berkonsultasi dengan kakak istri yang kebetulan dokter, kami segera diminta untuk memastikan benjolan tersebut ke RS Kanker Dharmais.

Singkat cerita, setelah melewati berbagai pemeriksaan selama lebih dari 2 pekan, akhirnya disimpulkan bahwa benjolan yang ada di dalam payudara dan selama ini tidak teraba adalah sel kanker yang telah berkecambah dalam stadium III D menuju stadium IV. Dan, secara medis, harapan hidup istri saya hanya tinggal 3-6 bulan jika tidak dilakukan tindakan segera.

Tindakan yang harus dilakukan untuk memperpanjang usia istri saya adalah dengan operasi pengangkatan payudara. Dan, itu harus dilakukan segera karena berpacu dengan waktu.

Saya sebagai suami, mencoba tegar di hadapan tim dokter walau hati ini galau tiada terkira. Saya harus bisa menyampaikan kondisi ini kepada istri saya, tanpa dia menjadi kehilangan semangat hidup, dan mempersiapkan mental anak-anak yang saat itu masih relatif kecil-kecil.

Anak saya yang sulung saat itu baru naik kelas 12 (SMA kelas 3), adiknya masih kelas 1 SMP, dan yang bungsu baru kelas 4 SD.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline