Burnout dirasakan secara individual tetapi dapat mempengaruhi organisasi secara holistik. Mayoritas pekerja melaporkan merasa lelah setidaknya untuk beberapa waktu. Kejenuhan tidak akan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Untuk itu, dibutuhkan intervensi dari para pemimpin.
Burnout termasuk dalam 11th Revision of the International Classification of Diseases (ICD-11) sebagai fenomena pekerjaan, tetapi tidak diklasifikasikan sebagai kondisi medis. Burnout didefinisikan dalam ICD-11 tersebut sebagai berikut: "Burnout adalah sindrom yang dikonseptualisasikan sebagai akibat dari stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola. Ini ditandai dengan tiga dimensi:
- perasaan kehabisan energi atau kelelahan;
- peningkatan jarak mental dari pekerjaan seseorang, atau perasaan negatif atau sinisme terkait dengan pekerjaan seseorang; dan
- mengurangi efektivitas profesional.
Menurut hasil Survei Gallup, 3 dari 4 (76%) insan perusahaan merasa kelelahan dalam pekerjaan yang mereka lakukan. Tanda-tanda dan gejala kelelahan tersebut sering luput dari perhatian dan tidak terpecahkan. Untuk itu, seorang manajer harus mampu untuk mengurangi stres anggota tim dan menghilangkan hambatan dalam mencapai tujuan kinerja.
Bagaimana jika hal ini terjadi, Anda baru saja meninggalkan rapat di mana Anda dan empat anggota tim Anda menghabiskan waktu membicarakan tentang proyek dan harapan yang akan datang. Jika kita mengacu kepada statistik, maka tiga dari empat anggota tim tersebut kemungkinan besar merasa lelah dalam pekerjaan setidaknya untuk beberapa waktu.
Masalah tersebut bukan sekadar statistik, tetapi Anda dapat membayangkan wajah-wajah insan perusahaan yang sedang berjuang, nama yang mereka bawa dan peran lain (misalnya: orang tua, mentor, teman) yang membentuk identitas mereka. Burnout dirasakan secara individual oleh insan perusahaan, tetapi dapat sangat mempengaruhi organisasi secara holistik.
Burnout syndrome bukan hanya masalah ketidaknyamanan. Burnout sangat berkaitan dengan kesejahteraan yang buruk, memengaruhi keuntungan organisasi melalui produktivitas yang lebih rendah, employee turnover yang lebih tinggi, ketidakhadiran yang lebih tinggi, dan biaya medis yang lebih tinggi. Akibat yang ditimbulkan burnout syndrome dapat membebani organisasi 15%-20% dari total gaji dalam biaya employee turnover.
Efek jangka panjang burnout pada insan perusahaan adalah mereka mengambil lebih banyak hari sakit, merasa kurang percaya diri dengan kinerja mereka dan lebih cenderung mencari pekerjaan lain secara aktif. Lantas, bagaimana solusi menghadapi burnout syndrome tersebut di tempat kerja? Perlu dipahami, bahwa satu ukuran tidak cocok untuk semua kasus.
Manajer harus melakukan percakapan rutin dan autentik dengan insan perusahaan terkait fenomena burnout. Dalam percakapan awal saat menerima insan perusahaan dimana biasanya dilakukan percakapan yang meninjau keberhasilan, hambatan, dan prioritas, cobalah pertimbangkan untuk menambahkan masalah kelelahan yang menimbulkan kejenuhan (burnout) sebagai topik.
Untuk itu, percakapan tentang menerima pengakuan, preferensi kerja dari rumah (WFH), atau kekuatan individu harus menjadi kebiasaan dalam percakapan dengan insan perusahaan. Meskipun ada praktik terbaik untuk dipertimbangkan, harus ada juga keunikan dan standar individu untuk mengenali tanda dan gejala kelelahan.
Sebagai eksekutif atau pun manajer, bicaralah dengan insan perusahaan tentang kejenuhan sebelum mereka membicarakannya dengan Anda, Jangan menunggu sampai mereka yang memulai percakapan tentang kelelahan karena apa yang mereka katakan yang mereka rasakan hari ini, mungkin mereka rasakan berminggu-minggu yang lalu. Sesuatu yang sudah menumpuk atau terakumulasi akan menjadi sulit penyelesaiannya.