Selesai menelepon, aku pun beranjak ke ruang tengah keluarga. Aku lihat Mama dan Vera ada di sana. Aku ikut duduk dekat mereka berdua. Tidak lama Gustav pun turun dari kamarnya, dan kemudian Papa pun keluar dari kamar. Kemudian setelah kami berkumpul di ruangan itu, Mama pun mengajak beranjak ke ruang makan untuk makan siang.
Aku mencoba melupakan semua misteri hidupku, misteri siapa Ayahku sesungguhnya. Informasi Tante Nuniek bahwa Ayahku adalah orang Jerman, yatim piatu sejak kecil karena kedua orangtuanya meninggal di pengungsian saat perang dunia ke dua aku simpan dahulu sampai waktu yang tepat bisa bertanya kepada Ibu ketika aku sudah kembali ke Jakarta.
Ada baiknya aku mencoba menikmati kehidupan baru selama sisa waktu aku berada di Jerman bersama keluarga yang menganggap aku sekarang adalah bagian keluarganya, saudara kembar yang hilang ketika bayi setelah perceraian kedua orangtua si kembar.
Aku nikmati semua hal yang dilakukan oleh keluarga itu di meja makan. Aku benamkan segenap pikiranku menjadi bagian dari mereka. Bukankah selama ini juga aku tidak pernah menikmati kehidupan seperti ini. Aku anak tunggal Ibu dan Ayah, dan menjadi anak yatim saat berusia lima tahun setelah Papa meninggal dan Ibu memutuskan tidak mau menikah lagi.
Nanti sore aku sudah kembali ke Heidelberg untuk melanjutkan magang di sana. Selasa pagi akan kembali ke Stuttgart dalam rangka melanjutkan magang pembelajaran proyek manajemen lingkungan sebagai bagian dari kerjasama program kredit rehabilitasi lingkungan Bank Pembangunan Asia dengan Pemerintah Jerman yang disalurkan melalui Deutsche Bank untuk negara- negara Asia Pacific. Di mana Bank tempatku bekerja menjadi salah satu bagian dari proyek kerjasama internasional itu.
"Gustav, bagaimana jika bawa saja mobil ke Heidelberg nanti sore? Bukankah besok sore kegiatan di Heidelberg juga sudah selesai dan berlanjut di Stuttgart?", kudengar Papa berkata kepada Gustav terkait dengan perjalanan kami kembali ke Heidelberg nanti sore.
"Kami diantar saja sama driver ke Heidelberg Pa. Tidak mungkin, Gustav memisahkan diri dan meninggalkan peserta lain saat mereka melanjutkan program magang di Stuttgart," jelas Gustav kepada Papa.
"Ya sudah, nanti pas magang di Stuttgart, Morgan menginap di sini saja. Kita maksimalkan waktu kebersamaan kita selama Morgan ada di Stuttgart. Nanti pas Morgan sudah meninggalkan Jerman kembali ke Indonesia, kita belum tahu kapan lagi akan bisa bersama," aku memandang penuh takjud Papa yang begitu berwibawa di mata keluarganya dan terasa sangat menyayangi serta memperhatikan keluarganya. Aku benar-benar merasakan pengalaman hidup berkeluarga yang berbeda dari yang kualami selama ini.
Aku juga kagum kepada Gustav dan Vera, meskipun mereka dari keluarga berada, tetapi sikap mereka tidak melihatkan hal tersebut. Vera sebagai seorang mahasiswi kedokteran di Heidelberg, tinggal di dorm kampusnya, dan kemana-mana menggunakan kendaraan umum dan juga bersepeda untuk ke kampus dari dorm tempat tinggalnya. Demikian pula, Gustav, santai saja jalan kaki dari apartment ke kantornya.
Sikap Gustav dan Vera tersebut sebagai anak dari keluarga berada, sangat sulit ditemukan di Indonesia tanah airku. Sulit menemukan keluarga berada mau menggunakan kendaraan umum, bersepeda, apalagi berjalan kaki untuk ke kampus atau ke kantor. Apalagi bagi seorang seperti Gustav, selain anak orang berada juga seorang manajer muda sebuah Bank yang terkenal di seluruh dunia.