Gustav semakin erat memeluk sambil terdengar lirih suaranya, "Morgen, du musst mein Zwilling sein, der mit Daddy verschwunden ist." Lalu dia melanjutkan kata-katanya, "aku baru saja menelpon Ibu, dan Ibu yakin kamu adalah anaknya dan saudara kembarku."
Aku berusaha tenang dan membawa Gustav duduk di sofa, "Calm down Gustav, stop crying," kataku penuh simpati. "Aku juga baru menelpon ibuku, dia meyakiniku bahwa aku anak Ibu bersama almarhum ayahku."
"Tidak mungkin Morgan, kau adalah saudara kembarku," suara Gustav agak meninggi sambil tetap terisak.
Melihat Gustav yang sedikit histeris, aku pun berusaha menenangkannya sambil berkata, "anggap saja aku saudaramu yang hilang, hingga saudara kembarmu yang sesungguhnya bertemu kembali."
"Baiklah jika begitu maumu Morgan, tetapi aku yakin dan akan aku buktikan bahwa kamu adalah saudara kembarku," tangisan Gustav mulai mereda dan ia pun menghapus air matanya.
Tiba-tiba sepasang suami istri separuh baya melintas di hadapan kami, dan sang Ibu berseru kepada suaminya dalam Bahasa Indonesia, "Pa, lihat anak kembar bule itu, mereka sangat mirip dan tampan." Dan, sang Ibu dengan ramahnya menyapa kami berdua. Gustav langsung menyambar, "Yes, this is Morgan my twin."
Sambil tersenyum aku sampaikan kepada mereka, "Gustav bercanda, dia adalah kolega kami dari Jerman, sementara saya dari Indonesia." Si Ibu pun membalas, 'mosok sih, kalian begitu miripnya." Sambil iseng aku bilang kepada si Ibu, "coba saja Ibu ajak dia berbahasa Indonesia jika benar dia saudara kembarku." Tentu saja, Gustav tak bisa menjawab rasa penasaran si Ibu itu.
Ketika sepasang suami istri separuh baya itu berlalu, Gustav kembali memelukku, dan berkata, "sekali lagi aku akan buktikan bahwa kamu adalah saudara kembarku, dan akan kubawa kamu ke Jerman menemui Ibu kita."
"Gustav, hari sudah larut, mari kita istirahat dulu. Besok pagi kita harus ke kantor lagi." Aku pun berdiri dan menuju lift. Gustav pun mengikuti. Gustav menuju lift di sayap bangunan yang lain. Kamar kami berbeda sayap bangunan.
Hari-hari selanjutnya, Gustav pun menempel kemana aku pergi. Saat istirahat pun kami makan siang bersama. Aku pun jadi kurang bergaul dengan yang lain seperti kebiasaanku selama ini karena Gustav yang selalu menempelku kemana aku pergi. Sebenarnya aku agak risih juga. Akan tetapi, aku juga tidak tega meninggalkannya sendirian, karena dia terlihat begitu bahagia jika bersamaku dan selalu berkata, "aku bahagia telah bertemu dengan Morgan saudara kembarku yang hilang."